TUNTUTAN PERDATA (BURGERLIJKE VORDERING)

TUNTUTAN PERDATA (BURGERLIJKE VORDERING)

Tuntutan Hak atau Tuntutan Perdata (Burgerlijke Vordering) adalah suatu tuntutan hak yang mengandung sengketa atau perselisihan, lazim disebut GUGATAN. Surat Gugatan dapat dibuat oleh Penggugat Prinsipal sendiri atau oleh Kuasa Hukum yang ditunjuk secara sah berdasarkan Surat Kuasa Khusus. Begitu pula GUGATAN dapat dibuat oleh Hakim/Ketua Pengadilan pada waktu Penggugat datang menghadap ke Pengadilan Negeri yang lazim disebut dengan GUGATAN LISAN (Mondeling Vordering). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu gugatan dapat diajukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:

  1. Secara tertulis, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg;
  2. Secara lisan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 HIR/Pasal 144 ayat (i) RBg, yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat berdasarkan ketentuan Pasal 118 het Herzine Indonesisch Reglement (HIR)/142 Rechtreglement voor de Buiten gewesten (RBg).

Dalam het Herzine Indonesisch Reglement (HIR) atau Rechtreglement voor de Buiten gewesten (RBg) tidak diatur mengenai pencabutan gugatan, akan tetapi diatur dalam ketentuan BRv (Reglement op the Burgerlijke Rechtsvordering), dengan ketentuan:

  1. Apabila  perkaranya belum diperiksa atau Tergugat belum menyampaikan jawaban, maka diperbolehkan;
  2. Apabila dalam pemeriksaan perkara di persidangan Tergugat telah menyampaikan jawaban, maka pencabutan gugatan harus dengan persetujuan Tergugat.

Pada dasarnya karena setiap pokok tuntutan (petitum) itu menyangkut kepentingan Tergugat, maka pengurangan petitum termasuk pengurangan dasar gugatan diperbolehkan karena tidak merugikan Tergugat. Juga pengurangan subyek hukum (pihak) diijinkan, misalnya: semula menggugat A, B, C, tetapi karena ternyata C tidak ikut menguasai obyek sengketa dan tidak ada kepentingan hukum, kemudian yang digugat hanya A dan B. Akan tetapi, dalam hal gugatan diubah atau ditambah pada prinsipnya tidak diperbolehkan, namun demikian dalam praktek dan yurisprudensi adakalanya diperbolehkan dengan pembatasan atau syarat – syarat tertentu.

Dalam praktek, yurisprudensi yang berkaitan dengan “mengurangi”, “menambah” atau “merubah” gugatan, antara lain:

–       Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 434 K/Sip/1970 Tanggal 11 Maret 1971, kaidah hukumnya berbunyi: “Perubahan gugatan dapat dikabulkan asalkan tidak melampaui batas – batas materi pokok yang dapat menimbulkan kerugian pada hak pembelaan para Tergugat”;

–       Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1043 K/Sip/1971 Tanggal 13 Desember 1974 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 823 K/Sip/1973 Tanggal 29 Januari 1976, yang pada pokoknya menyatakan bahwa diizinkan perubahan atau tambahan dari gugatan, asal tidak mengakibatkan perubahan posita dan Tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri (hak pembelaan diri) atau pembuktian;

–       Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 226 K/Sip/1973 Tanggal 17 Desember 1975, kaidah hukumnya berbunyi: “Perubahan gugatan Penggugat Terbanding pada persidangan 11 Pebruari 1969 adalah mengenai pokok gugatan, maka perubahan itu harus ditolak”;

–       Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1720 K/Sip/1978, kaidah hukumnya berbunyi: “Karena Tergugat asal II telah menyetujui pencabutan gugatan dan tidak bersedia menghadap ke sidang, maka dapat dipandang bahwa Tergugat tersebut telah melepaskan kepentingannya dalam perkara ini, sehingga pencoretan namanya sebagai Tergugat tidaklah bertentangan dengan hukum”;

   Created By: Appe Hamonangan Hutauruk

News Feed