UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) TAHUN 2018
HUKUM ACARA PIDANA
UNIVERSITAS MPU TANTULAR
FAKULTAS HUKUM
Fakultas : HUKUM Jurusan : Ilmu Hukum Mata Kuliah : Hukum Acara Pidana Hari, Tanggal : Sabtu, 12 Mei 2018 Waktu : 60 (enam puluh) menit Dosen : APPE HUTAURUK, SH., MH. NIDN : 0307036803
KETENTUAN UJIAN:
- Tidak dibenarkan membuka buku referensi atau catatan;
- Tidak dibenarkan membuka situs google atau yang lainnya melalui media elektronik;
- Tidak dibenarkan bekerja sama;
- Jawaban harus ditulis dengan huruf kapital dan jelas dibaca;
- Mematuhi tata tertib yang ditentukan oleh universitas dan/atau fakultas;
- Mahasiswa yang melanggar ketentuan ujian diatas, dikenakan sanksi yang tegas;
PERTANYAAN DAN JAWABAN:
Pertanyaan:
- Jelaskan tujuan Hukum Acara Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pedoman pelaksanaan KUHAP dan fungsi Hukum Acara Pidana menurut van Bemmelen.
Jawaban:
- Pedoman Pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana, sebagai berikut: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak – tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap – lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
- Van Bemmelen mengemukakan 3 (tiga) fungsi hukum acara pidana, yaitu:
- Mencari dan menemukan kebenaran;
- Pemberian keputusan oleh Hakim;
- Pelaksanaan keputusan.
Pertanyaan:
- Sebutkan asas – asas utama dalam Hukum Acara Pidana.
Jawaban:
Asas – asas utama dalam Hukum Acara Pidana, meliputi:
- Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan.
- Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence).
- Asas Oportunitas.
- Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum.
- Peradilan Dilakukan oleh Hakim karena Jabatannya dan Tetap.
Pengertiannya adalah pengambilan keputusan untuk menentukan salah tidaknya Terdakwa dilakukan oleh Hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.
6. Setiap Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim.
7. Semua Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum.
Pasal 69 s/d Pasal 74 KUHAP.
8. Asas Akusator dan Inkisitor (accusatoir dan inquisitoir).
Asas Akusator yaitu Kebebasan untuk memberi dan mendapatkan nasehat hukum, sedangkan yang dimaksud dengan Asas Inkisitor adalah Tersangka/Terdakwa dianggap sebagai obyek pemeriksaan.
9. Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan (Pasal 154, 155 dan seterusnya)
Pertanyaan:
- Jelaskan maksud dantujuan dilakukannya Penyelidikan, jelaskan pula apa yang dimaksud dengan alat bukti.
Jawaban:
- Maksud dan tujuan dilakukannya penyelidikan adalah untuk mengumpulkan “BUKTI PERMULAAN” atau “BUKTI YANG CUKUP” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Sebelum KUHAP berlaku, terhadap pengertian penyelidikan, dipergunakan istilah “opspornig” atau “orderzoek”, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “Investigation”.
- Yang dimaksud dengan ALAT BUKTI adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan/peristiwa, dimana dengan alat – alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan Hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh Terdakwa.
Pertanyaan:
- Jelaskan pengertian Eksepsi/Tangksan dan Teori atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana, serta Teori atau Sistem Pembuktian yang digunakan dalam praktek peradilan Hukum Acara Pidana di Indonesia (Criminal Justice System).
Jawaban:
- Eksepsi/Tangkisan (exeptie, exeption) adalah upaya atau prosedur hukum dalam persidangan perkara pidana di peradilan yang berarti penolakan/keberatan yang disampaikan oleh seorang Terdakwa/Penasehat Hukum, disertai dengan alasan-alasannya bahwa Surat Dakwaan dan/atau Dakwaa Jaksa Penuntut Umum disusun dan/atau dibuat tidak dengan cara yang benar, tidak cermat dan/atau mengandung cacat yuridis, yang tidak mengenai pokok perkara.
- Dalam menilai kekuatan pembuktian “ALAT – ALAT BUKTI” maka dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu:
a. Teori atau Sistem Pembuktian Berdasar Undang – Undang secara Positif (positief wettelijk bewijstheorie) atau disebut juga Teori Pembuktian Formal (formele bewijstheorie) yaitu pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat – alat pembuktian yang disebutkan dalam undang – undang, sedangkan keyakinan Hakim tidak diperlukan sama sekali;
Menurut D. Simons, sistem atau teori pembuktian berdasar undang – undang secara positif (positief wettelijk) berusaha mengikat Hakim secara ketat menurut peraturan – peraturan pembuktian yang keras. Sistem ini dianut di Eropa pada masa berlakunya asas inkisitoir (inquisitoir) dalam acara pidana;
b. Teori atau Sistem Pembuktian menurut Keyakinan Hakim Melulu (Conviction intime) yaitu sistem pembuktian dimana putusan pidana dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat – alat bukti dalam undang – undang, akan tetapi pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan penilaian alat – alat bukti hanya didasarkan semata – mata pada keyakinan Hakim. Sistem pembuktian seperti ini dianut dianut oleh peradilan JURY seperti di PERANCIS;
c. Teori atau Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (La Conviction Raisonnee) yaitu pembuktian dalam hal mana Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya dengan dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) dan motivasi yang berlandaskan peraturan – peraturan pembuktian tertentu.
Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (La Conviction Raisonnee) terpecah dengan munculnya Teori Pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Persamaannya adalah kedua teori pembuktian tersebut didasarkan pada keyakinan Hakim (artinya Terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan Hakim bahwa ia bersalah). Perbedaannya ialah Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (La Conviction Raisonnee) harus didasarkan pada keyakinan Hakim tetapi keyakinan tersebut harus didasarkan pada alasan/kesimpulan yang logis yang tidak didasarkan pada undang – undang (tetapi didasarkan pada keyakinan Hakim menurut pilihannya sendiri mengenai pelaksanaan pembuktian mana yang ia pergunakan. Sedangkan Teori Pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif menentukan bahwa keyakinan Hakim harus berpangkal tolak pada pada aturan – aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang – undang. HIR maupun KUHAP menganut Teori Pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 294 ayat (1) HIR. Dengan demikian Teori atau Sistem Pembuktian yang diterapkan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia adalah Teori Pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie).
Pertanyaan:
- Jelaskan tahapan beracara di persidangan dalam pemeriksaan perkara pidana pada tingkat Pengadilan Pertama (Pengadilan Negeri) sesuai dengan urutannya mulai dari awal sampai dengan Putusan Hakim/Putusan Pengadilan.
Jawaban:
Tahapan beracara di persidangan dalam pemeriksaan perkara pidana di tingkat Pengadilan Pertama (Pengadilan Negeri), meliputi:
- Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum;
- Eksepsi dari Terdakwa/Penasehat Hukum;
- Tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum;
- Putusan Sela;
- Pembuktian dari Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa/Penasehat Hukum;
- Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum;
- Pembelaan (Pledoi) dari Terdakwa/Penasehat Hukum;
- Replik dari Jaksa Penuntut Umum;
- Duplik dari Terdakwa/Penasehat Hukum;
- Putusan (akhir);
Writer and Copy Right: Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002