KEBIJAKAN PUBLIK YANG PRO PEMBANGUNAN SOSIAL
KESEJAHTERAAN SOSIAL (social welfare) merupakan bagian yang integral dan tak terpisahkan dari tujuan kemerdekaan (the goal of independence), serta esensi dari agenda pembangunan ekonomi (economic development). Ketentuan Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 menegaskan secara eksplisit mengenai sistem perekonomian bangsa Indonesia. Menurut Sri Edi Swasono (2001), “Dengan menempatkan pasal UUD 1945 dibawah judul Bab “Kesejahteraan Sosial” itu, berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial”. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan parameter untuk mengukur keberhasilan pembangunan, bukan semata – mata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fiskal. Dengan demikian, dilihat dari perspektif pembangunan sosial, Indonesia menganut negara kesejahteraan (welfare state), meskipun dengan model residual atau bahkan model minimal. Indonesia menganut prinsip keadilan sosial (vide: sila kelima Pancasila) dan secara eksplisit konstitusi (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggung jawab Pemerintah dalam pembangunan sosial (social development).
Baik pada masa Orde Baru maupun pada Era Reformasi saat ini, pembangunan sosial masih sebatas JARGON atau PROPAGANDA dan belum terintegrasi dengan strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi. Penanganan masalah – masalah sosial (social problems) masih belum menyentuh persoalan fundamental dan hakiki. Program – program jaminan sosial masih bersifat parsial (partial) dan karitatif (charity) serta belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Orang miskin dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) masih dipandang sebagai “SAMPAH PEMBANGUNAN” (development waste) yang harus dibersihkan. Meskipun harus dibantu, hanya sekedar bantuan uang, barang, pakaian atau mie instant berdasarkan prinsip kebijakan belas kasihan (mercy policy), tanpa konsep dan visi yang konstruktif dan berkesinambungan.
Saat ini terdapat kecenderungan, pemerintah semakin enggan terlibat mengurusi permasalahan sosial. Dengan menguatnya ide liberalisme dan kapitalisme, pemerintah lebih tertarik pada bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi setinggi – tingginya, termasuk menarik pajak dari rakyat sebesar – besarnya. Sedangkan tanggung jawab menangani masalah sosial dan memberikan jaminan sosial diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.
Konsep dan sistem OTONOMI DAERAH, bukannya semakin memperkuat komitmen pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan masyarakat kelas bawah (lower class society). Pemberian wewenang yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah (Pemda) dalam mengelola pembangunan daerah belum diikuti dengan penguatan piranti kebijakan dan strategi pembangunan sosial. Ironisnya, di beberapa daerah dimana institusi – institusi kesejahteraan sosial (social wefare institutions) yang sudah mapan, pada kenyataannya tidak dibinakembangkan malahan dibumihanguskan tanpa dasar pertimbangan yang rasional.
Fenomena yang demikian mengindikasikan bahwa pengalihan pembangunan sosial hanya dianggap sebagai beban tambahan bagi anggaran pemerintah daerah. Tidak sedikit Pemda yang hanya mau menerima penguatan dan peralihan wewenang dalam pengelolaan dan peningkatan sumber – sumber “Pendapatan Asli Daerah” (PAD). Sedangkan peralihan tugas dan peran menangani “Permasalahan Sosial Asli Daerah” (PSAD) inginnya diserahkan kepada masyarakat, lembaga – lembaga sosial dan keagamaan.
Dalam menghadapi globalisasi dan menguatnya ide kapitalisme, maka visi, misi dan strategi kebijakan publik (public policy) dan pembangunan sosial di Indonesia perlu direvitalisasi dan bukan dideligitimasi. Sehingga bidang ini tidak menjadi sekedar kegiatan amal atau usaha sporadis setengah hati yang tidak terencana dan jauh dari prinsip dan wawasan keadilan sosial. Bila Indonesia dewasa ini hendak melakukan liberalisasi dan privatisasi ekonomi yang berporos pada ideologi kapitalisme, Indonesia bisa menimba pengalaman dari negara – negara maju ketika mereka memanusiawikan kapitalisme. Kemiskinan (poverty) dan kesenjangan sosial (social gap) ditanggulangi oleh kebijakan publik, seperti berbagai skim jaminan sosial yang benar – benar dapat dirasakan manfaatnya secara nyata terutama oleh masyarakat kelas bawah.
Pengalaman negara – negara Eropa memberi pelajaran bahwa jika negara menerapkan sistem demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis, maka itu tidak berarti pemerintah harus “cuci tangan” (washing hands) dalam kebijakan publik yang menyangkut pembangunan sosial. Karena, sistem ekonomi kapitalis adalah strategi mencari uang, sedangkan pembangunan sosial adalah strategi mendistribusikan uang secara adil dan merata.
Negara dapat diilustrasikan sebagai sebuah keluarga, mata pencaharian boleh saja bersifat kapitalis, tetapi perhatian terhadap anggota keluarga tidak boleh melemah, terutama terhadap anggota yang memerlukan perlakuan dan perlindungan khusus (special treatment and protection), seperti anak balita, anak cacat atau orang lanjut usia. Terhadap anggota keluarga yang normal atau sudah dewasa, barulah orang tua dapat melepaskan sebagian tanggung jawabnya secara bertahap agar mereka menjadi manusia mandiri dalam masyarakat (independent people in society).