DISKRIMINASI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
(Criminal Justice System)
Kebijakan penal berupa diskriminasi dalam sistem peradilan tindak pidana (criminal justice system) adalah perilaku yang mendistorsi DEMOKRASI. Selama penerapan sistem peradilan melakukan tindakan – tindakan represif yang bertentangan dengan prosedur hukum (Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan pidana lainnya baik materil maupun formil) seperti menetapkan seseorang menjadi tersangka, melakukan penggeledahan, menangkap, menahan dan sebagainya terhadap masyarakat miskin atau orang – orang yang tidak mempunyai pengaruh sosial dan politik maka masyarakat pencari keadilan dan kebenaran akan merasa termarjinalkan. Tindakan Diskriminasi dalam sistem peradilan pidana dapat terjadi dengan menggunakan kedok/topeng “PRO JUSTITIA ATAU DEMI KEADILAN” yang berproses mulai dari tingkat PENYELIDIKAN sampai dengan proses persidangan menjatuhkan vonis oleh Hakim di Pengadilan.
Meskipun hakekatnya setiap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah HUKUM yang bersifat mengikat dan memaksa, namun sama sekali tidak diperbolehkan suatu putusan pengadilan yang menghapuskan atau menghilangkan hak – hak politik seseorang secara permanen (seumur hidup). “PRINSIP HUKUM” demikian berlaku untuk sistem peradilan di seluruh dunia.
Sebagai negara hukum modern, maka rakyat Indonesia harus merubah paradigma atau MIND SET dan menolak provokasi “NALAR RATIONAL” yang melarang bekas narapidana utntuk menggunakan hak sosial politiknya untuk berperan aktif dalam proses demokrasi termasuk untuk memangku dan meduduki posisi jabatan – jabatan publik dalam instansi – instansi pemerintah dan seluruh Badan Usaha Milik Negara.
Writer and Copy Right: Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002