HUKUM PERDATA DI INDONESIA

HUKUM6,553 views
A cafe bringing together cartoon and movie characters in Turkiye's capital Ankara
HUKUM PERDATA DI INDONESIA

Bidang  hukum  yang mengatur hak dan kewajiban (rights  and  obligations) yang dimiliki pada subyek hukum (legal subject) dan hubungan  (legal relationship, rechtsbetrekking) antara subyek hukum. Hukum perdata  disebut pula HUKUM PRIVAT  atau  HUKUM SIPIL  sebagai lawan dari hukum  publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan  negara serta kepentingan umum (misalnya politik  dan  pemilu  (hukum tata negara), kegiatan  pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara  penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

HUKUM PERDATA di Indonesia didasarkan (concordance)  pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan asas konkordansi (concordance principle, concordantiebeginsel).

Menurut Subekti, “Perkataan “Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan – kepentingan perseorangan. Perkataan “perdata” juga lazim dipakai sebagai lawan dari “pidana”.[1] Selanjutnya Subekti menjelaskan pula, “Perkataan “Hukum Perdata”, adakalanya dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan “hukum dagang”, seperti dalam Pasal 102 Undang – Undang Dasar Sementara, yang menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan susunan serta kekuasaan pengadilan”[2]

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi  ‘Corpus Juris Civilis’ yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam 2 (dua)  kodifikasi yang disebut (hukum perdata)  dan Code de Commerce  (hukum dagang). Ketika   Perancis menguasai Belanda (1806 – 1813), kedua kodifikasi hukum tersebut  diberlakukan  di  negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 (dua puluh empat) tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1813.

Pada tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS)  Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut “Ontwerp Kemper”. Akan tetapi,  Kemper meninggal dunia pada tahun 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.

Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1830 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :

–     BW (atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda);

–     WvK  (atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang);

Menurut J. Van Kan,  kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil ciplakan (saduran)  yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.

Hukum perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum Napoleon kemudian berdasarkan Staatsblaad  Nomor 23 Tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie (disingkat BW) atau disebut sebagai KUH Perdata. BW sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun berdasarkan kepada pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia (asas konkordasi). Beberapa ketentuan yang terdapat di dalam BW pada saat ini telah diatur secara terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya yang berkaitan dengan hukum tentang tanah, hak tanggungan dan fidusia.

Kodifikasi KUHPerdata Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847  melalui  Staatsblaad   No. 23  dan  berlaku sejak  Januari 1848. Selanjutnya, setelah Indonesia merdeka, berdasarkan ketentuan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUHPerdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang-Undang baru. Burgerlijk Wetboek  (BW)  Hindia Belanda merupakan induk Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku sebagai hukum positif (positive law) di Indonesia.

KUHPerdata terdiri atas empat 4 (empat) bagian, yaitu:

  1. Buku 1 tentang Orang /Van Personnenrecht;
  2. Buku 2 tentang Benda /Van Zaken;
  3. Buku 3 tentang Perikatan /Van Verbintenessenrecht;
  4. Buku 4 tentang Pembuktian dan Daluwarsa /Van Bewijs en Verjaring;

 

Secara lebih lengkap dapat dijelaskan  bahwa Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terdiri dari 4 (empat) bagian yang meliputi:

  1. Buku ITentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan disahkannya Undang – Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
  1. Buku IITentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya Undang – Undang  Nomor 5 Tahun 1960  Tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996  Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
  1. Buku IIITentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis – jenis  perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang – undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab Undang –  Undang Hukum Dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Dengan perkataan lain dapat disimpulkan bahwa  KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata.
  1. Buku IVTentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

Subekti berpendapat bahwa Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu:

  1. Hukum tentang diri seseorang;
  2. Hukum Kekeluargaan;
  3. Hukum Kekayaan, dan;
  4. Hukum Warisan; [3]

Berkaitan dengan pengejawantahan substansi  Hukum Perdata, maka  yang sangat penting adalah Subjek Hukum.  Pengertian  umum dan mendasar  dari Subyek Hukum ialah setiap pihak pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari – hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu berdasar dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi), yang dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Manusia (natuurliijke persoon). Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai pemegang hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang “tidak cakap” hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain, seperti anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, atau belum menikah, dan orang yang berada dalam pengampunan seperti orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.
  1. Badan Hukum (recht persoon). Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status “persoon” oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.

 

[1] Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Penerbit PT Intermasa, Jakarta,Cetakan XXVI, Tahun 1994, hlm. 9.

[2] Subekti, Ibid, hlm. 9.

[3] Subekti, Ibid, hlm. 16.

 

Copy Right: Dr. Appe  Hutauruk, SH., MH.

News Feed