KEBIJAKAN SOSIAL

Terminologi kebijakan (discretion)  adalah sepadan atau sinonim  dengan kata   policy (bahasa Inggris), yang dibedakan dari kata kebijaksanaan (wisdom) maupun kebajikan (virtues). Kebijakan sosial (sociaal beleid, social policy) terdiri dari dua kata yang memiliki banyak makna, yakni kata kebijakan (policy) dan kata sosial (social).

Sedangkan S. Prajudi Atmosudirjo dalam bukunya yang berjudul “Hukum Administrasi Negara” untuk istilah “discretion” menggunakan istilah “kebijaksanaan”. Beliau menjelaskan bahwa “Yang saya maksudkan dengan diskresi, discretion (Inggris), discretion (Perancis), freies Ermessen (Jerman) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan para pejabat Administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri. “Kebijaksanaan” (beleid, administrative policy) adalah dasar atau garis sikap atau pedoman untuk pelaksanaan dan pengambilan keputusan”[1]

Secara umum dapat dikatakan bahwa “Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan”. Menurut Ealau dan Prewitt (1973), “kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu)”. Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai “prinsip – prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan – tujuan tertentu. Kebijakan”, menurut Titmuss, “senantiasa berorientasi kepada masalah (problem – oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action – oriented)”. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa “kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip – prinsip untuk mengarahkan cara – cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu”.

Sebagaimana halnya dengan kata “kebijakan”, maka kata “sosial”  juga  memiliki  pengertian yang variatif. Conyers (1992) mengelompokkan kata sosial ke dalam 5 (lima) pengertian, yaitu:

  1. Pengertian umum dalam kehidupan sehari – hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, kegiatan olah raga, rekreasi, bercakap – cakap dengan teman, jalan – jalan, sering disebut sebagai kegiatan sosial;
  1. Lawan kata individual. Kata sosial memilikin pengertian sebagai sekelompok orang (group), atau sekelompok kolektifitas, seperti masyarakat (society), warga atau komunitas (community). Dalam konteks ini, istilah sosial juga mencakup pengertian publik atau kemaslahatan umum. Oleh karena itu orang sering mendefinisikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kepentingan publik atau kepentingan masyarakat luas (lihat Hill, 1996);
  1. Lawan kata ekonomi. Kata sosial berkonotasi dengan aktivitas – aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat sukarela atau swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan finansial. Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK adalah organisasi yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang tidak mencari keuntungan yang berupa uang. Ini berbeda dengan organisasi ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan Terbatas (PT), atau Bank yang tentunya kegiatan – kegiatannya bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi.
  1. Melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau binatang. Pembangunan sosial dapat dijelaskan sebagai pembangunan kualitas manusia yang berbeda dengan pembangunan fisik atau infrastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan;
  1. Berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Misalnya, selain setiap orang memiliki hak azasi   (human right), seperti hak hidup dan menyatakan pendapat secara bebas, juga memiliki hak sosial (social right), seperti kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, perumahan atau berpartisipasi dalam pembangunan.

Apabila dihubungkan dengan “frasa”  kebijakan sosial (social policy), maka kata sosial dapat diartikan baik secara generik atau luas maupun spesifik. Secara generik, kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang – bidang atau sektor – sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Kata “sosial” dalam pengertian ini, mencakup antara lain bidang pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian. Dalam arti spesifik atau sempit, kata “sosial”  menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged group) dan kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial disini menyangkut program – program dan/atau pelayanan – pelayanan sosial untuk mengatasi masalah – masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, remaja, keterbelakangan pendidikan, pengangguran dan sebagainya.

Terminologi  “kebijakan sosial”  diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial (social aspect) dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Conyers (1992). Menurut Conyers, perencanaan sosial (social planning) adalah perencanaan perundang – undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial (social welfare)  yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara. Sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Conyers, 1992). Beberapa ahli seperti Marshall, Rein, Huttman, Magill, Spicker dan Hill juga mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial.

Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas – fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan suatu tipe kebikan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan – tujuan sosial (Magill, 1986).

Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall, 1965);

Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya – biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970).

Kebijakan sosial adalah strategi – strategi, tindakan – tindakan, atau rencana – rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman, 1981).

Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan (welfare), baik dalam arti luas, yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam arti sempit, yang menunjuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan kolektif tertentu guna melindungi kesejahteraan rakyat (Spicker, 1995).

Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan warganya (Hill, 1996).

Dalam konteks Tujuan Pembangunan Nasional Indonesia adalah “mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, materil dan spirituil, berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945”, maka kebijakan sosial sangat erat kausalitasnya dengan “strategi dan kecerdikan Pemerintah dalam mengelola Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI”. Dalam kajian tersebut, perlu diintrodusir pendapat Siswono Yudo Husodo dalam buku karangannya yang berjudul “Menuju Wefare State”, yang pokoknya sebagai berikut: “Saat ini kita hidup di dunia yang oleh banyak orang disebut the borderless wrld, dunia tanpa batas, dengan arus pergerakan manusia, barang, modal, uang, dan teknologi serta budaya yang hampir – hampir tanpa hambatan. Kita hidup di bumi yang suka tidak suka, harus menerima kenyataan hadirnya masyarakat yang makin berbudaya liberal, yang menjadikan mekanisme pasar sebagai referensi pola hidup. Dalam masyarakat yang cenderung makin liberal ini, nilai – nilai kosmopolitan makin mendominasi kehidupan sehari – hari masyarakat di belahan bumi manapun dia berada. Persaingan hidup antarbangsa menjadi makin ketat. Indeks dan statistik mengenai berbagai aspek kehidupan yang diterbitkan secara berkala oleh banyak lembaga telah berperan penting dalam mengukur tingkat kemajuan peradaban suatu bangsa, serta menjadikan kita lebih mudah membandingkan satu negara dengan negara lain”.[2] Konsepsi yang dikemukakan oleh Siswono Yudo Husodo tersebut, membuktikan bahwa kebijakan sosial Pemerintah mempunyai peranan penting  untuk mewujudkan wefare state.

Pengertian dari kata sosial, menunjuk pada manfaat – manfaat atau bantuan – bantuan kesejahteraan sosial (social welfare benefits). Manfaat dan bantuan kesejahteraan sosial  yang tercakup dalam pengertian ini antara lain meliputi: perlindungan sosial (social protection) bagi kelompok – kelompok rentan dan tidak beruntung; jaminan sosial (social security) baik yang berbentuk bantuan sosial (social assistance) maupun asuransi sosial (social insurance); program pemeliharaan penghasilan; pelayanan kesehatan; rehabilitasi sosial para penderita cacat, eks narapidana, wanita atau pria tuna susila atau eks penderita penyakit kronis; perawatan kesehatan mental; pendidikan dan pelatihan bagi penganggur; pelayanan bagi manusia yang berusia lanjut; perawatan dan perlindungan anak; konseling perkawinan dan keluarga; serta pelayanan rekreasi dan pengisian waktu luang.

Huttman (1981), dan Gilbert dan Specht (1986) melihat kebijakan sosial dari tiga sudut pandang, yakni kebijakan sosial sebagai proses (process), sebagai produk (product), dan sebagai kinerja atau capaian (performance). Sebagai suatu proses, kebijakan sosial menunjuk pada tahapan perumusan kebijakan dalam kaitannnya dengan variabel – variabel sosio – politik dan teknik metodologis. kebijakan sosial merupakan suatu tahapan untuk membuat sebuah rencana tindak (plan of action) yang dimulai dari pengidentifikasian kebutuhan (assessing need), penetapan alternatif – alternatif tindakan, penyeleksian strategi – strategi kebijakan, sampai pada evaluasi terhadap pengimplementasian kebijakan. Magill (1986) memberi istilah terhadap makna kebijakan sebagai proses ini sebagai pengembangan kebijakan (policy development) yang maknanya menunjuk pada proses perumusan kebijakan (policy formulation).

Sebagai suatu produk, kebijakan sosial adalah hasil dari proses perumusan kebijakan atau perencanaan sosial. Dalam pengertian ini kebijakan sosial mencakup segala bentuk peraturan, perundang – undangan atau proposal program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan berbagai kegiatan atau proyek. Dimensi kedua dari kebijakan ini melihat kebijakan sosial sebagai rumusan strategi (formulated strategy), atau merujuk pada pendapat Khan (1973), sebagai suatu rencana induk (standing plan). Perlu dijelaskan disini bahwa peraturan atau perundang – undangan adalah sebuah kebijakan, namun tidak semua kebijakan adalah peraturan atau perundang – undangan.

Sebagai suatu kinerja (performance), kebijakan sosial merupakan deskripsi atau evaluasi terhadap hasil – hasil pengimplementasian produk kebijakan sosial atau pencapaian tujuan suatu rencana pembangunan. Kebijakan sosial dalam pengertian ini menyangkut kegiatan analisis untuk melihat dampak atau pengaruh yang terjadi pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif, sebagai akibat dari diterapkannya suatu peraturan, perundang – undangan, atau suatu program. Secara khusus, dimensi ketiga kebijakan sosial ini seringkali diistilahkan dengan analisis kebijakan sosial (social policy analysis).

Di negara – negara barat, kebijakan sosial sebagian besar menjadi tanggung jawab pemerintah. Ini dikarenakan sebagian besar dana untuk kebijakan sosial dihimpun dari masyarakat (publik) melalui pajak. Di negara – negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia dan Norwegia serta di negara – negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, Inggris, dan Prancis, pelayanan – pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang sosial dan medis untuk segala kelompok usia (anak – anak, remaja, lanjut usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya maupun orang miskin).

Terjadinya pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government (pemerintahan) ke governance (tatakelola), kebijakan sosial dipandang bukan lagi sebagai dominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari “penguasa orang banyak” yang diidentikkan dengan pemerintah, ke “bagi kepentingan orang banyak” yang diidentikan dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi baru yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya kebijakan sosial dan kemudian mengajukan saran – saran perbaikan demi terwujudnya good governance sejalan dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil society dan transparansi.

[1] S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Ghalia Indonesia, Cetakan Kesepuluh, Tahun 1995, hlm. 82.

[2] Siswono Yudo Husodo, Menuju Wefare State, Penerbit Baris Baru, Jakarta, Cetakan Pertama, Tahun 2009, hlm. 108.

Penulis: Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.