SIFAT DAN PERLUNYA REVOLUSI SAINS

Berita6,373 views

SIFAT DAN PERLUNYA REVOLUSI SAINS

 

 

Revolusi sains dianggap sebagai episode perkembangan nonkumulatif yang didalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya oleh paradigm baru yang bertentangan. Kata sains berasal dari bahasa Latin scientia yang berarti “pengetahuan” atau “mengetahui”,  kemudian dari kata ini terbentuk kata science (Inggris). Sains dalam pengertian sebenarnya adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai fenomena alam sehingga rahasia yang dikandungnya dapat diungkap dan dipahami. Dalam usaha mengungkap rahasia alam tersebut, sains melakukannya dengan menggunakan metode ilmiah. Objek kajiannya sains berupa benda-benda konkret: Benda konkret adalah benda-benda yang dapat ditangkap oleh alat-alat indra, dapat berupa benda padat, cair, atau gas. Jika benda-benda tersebut tidak dapat ditangkap oleh indra kita, maka digunakan alat bantu. Contohnya, pengamatan terhadap virus dilakukan dengan menggunakan mikroskop elektron dan bakteri dengan bantuan mikroskop cahaya. Selanjutnya, sains mengembangkan pengalaman-pengalaman empiris: Hal tersebut berarti pemecahan masalah dilakukan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dapat dirasakan oleh semua orang (pengalaman nyata).

          Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual. Kata paradigma sendiri berasal dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin ditahun 1483 yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola; bahasa Yunani paradeigma (para+deiknunai) yang berarti untuk “membandingkan”, “bersebelahan” (para) dan memperlihatkan (deik). Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Secara etimologis paradigma berarti model teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir. Sedangkan secara terminologis paradigma berarti pandangan mendasar para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Jadi,paradigma ilmu pengetahuan adalah model atau kerangka berpikir beberapa komunitas ilmuan tentang gejala-gejala dengan pendekatan fragmentarisme yang cenderung terspesialisasi berdasarkan langkah-langkah ilmiah menurut bidangnya masing-masing.

Paradigma dalam ilmu pengetahuan mempunyai definisi bahwa seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan manusia dalam kesehariannya maupun dalam penyelidikan ilmiah. Paradigma dalam hal ini dibatasi pada paradigma pencarian ilmu pengetahuan, yaitu suatu keyakinan dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari kebenaran realitas menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan. Dalam mengembangkan suatu paradigma ilmu,  harus dapat dilihat cara pandang yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan ilmu pengetahuan, yaitu: dimensi ontologis (dimensi yang membicarakan hakikat ilmu), dimensi epistemologis (dimensi yang membicarakan bagaimana memperoleh ilmu), dimensi aksiologis (dimensi yang membicarakan nilai sebuah ilmu), dimensi retorik (dimensi yang membicarakan tentang bahasa yang dipakai dalam pemikiran ilmu), dan dimensi metodologis (dimensi yang membicarakan metode-metode memperoleh ilmu).

Revolusi sains  dianggap sebagai episode perkembangan nonkumulatif yang di dalamnya paradigma yang lama digantiseluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan. Revolusi politik dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh, yang sering terbatas pada suatu segmen dari masyarakat politik, bahwa lembaga – lembaga yang ada tidak lagi memadai untuk menghadapi masalah – masalah yang dikemukakan oleh lingkungan yang sebagian diciptakan oleh lembaga – lembaga itu.  Dengan cara yang banyak kesamaannya, revolusi sains dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh, yang lagi – lagi sering terbatas pada sub – divisi yang sempit dari masyarakat sains, bahwa paradigma yang ada tidak lagi berfungsi secara memadai dalam eksplorasi suatu aspek dari alam, yang sebelumnya paradigma itu sendiri yang menunjukkan jalan bagi erksplorasi itu.

Berbicara tentang paradigma ilmu, maka kita tidak akan terlepas dari konsepsi teori Thomas Kuhn dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolution”. Di dalam buku ini ia berbicara tentang sifat perubahan ilmu yang dikenal luas sebagai salah satu buah pikir paling menonjol tentang “bagaimana proses keilmuan berjalan”. Dalam pandangannya ilmu tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu melalui proses penumbangan-penumbangan teori, yaitu antara teori baru yang menggantikan teori lama. Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu sangat berperan aktif dalam kemajuan dan peradaban manusia. Amsal Bakhtiar dalam bukunya FIlsafat Ilmu menyatakan bahwa perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan kemajuan dan perkembangan ilmu. Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa kemasa adalah ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain. Hal-hal baru yang yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya.

Baik dalam perkembangan politik maupun dalam perkembangan sains, kesadaran akan adanya malafungsi yang dapat menyebabkan krisis itu merupakan prasyarat bagi revolusi. Selain itu, meskipun tak dapat disangkal memaksa metafora itu, kesejajaran tersebut tidak hanya berlaku bagi perubahan besar dalam paradigma, seperti yang dapat diatributkan kepada Copernicus dan Lavoisier, tetapi juga bagi yang jauh lebih kecil yang diasosiasikan dengan asimilasi suatu jenis gejala baru seperti oksigen atau sinar X. Aspek genetik dari kesejajaran antara perkembangan politik dan perkembangan sains ini tidak sepatutnya diragukan lagi. Kesejajaran itu, bagaimanapun, merupakan aspek kedua dan yang lebih menonjol, tempat bergantungnya signifikan aspek yang pertama. Revolusi politik bertujuan mengubah lembaga – lembaga politik dengan cara – cara yang dilarang oleh lembaga – lembaga itu sendiri.

Mula – mula hanya krisis yang mengurangi peran lembaga – lembaga politik, seperti telah kita lihat krisis mengurangi peran paradigma – paradigma. Dalam jumlah – jumlah yang meningkat, orang – orang menjadi semakin terasing dari kehidupan politik dan berperilaku semakin bertambah eksentrik didalamnya. Kemudian, dengan mendalamnya krisis, orang – orang itu melibatkan diri kedalam usul yang konkret bagi rekonstruksi masyarakat dalam kerangka kelembagaan yang baru. Pada saat itu masyarakat terbagai kedalam dua kelompok atau partai yang bersaingan, yang satu berusaha mempertahankan konstelasi kelembagaan yang lama dan yang lain berupaya mendirikan yang baru. Dan jika polarisasi itu terjadi, maka penyelesaian secara politis gagal. Karena mereka berselisih tentang matriks kelembagaan tempat mencapai dan menilai perubahan politik, karena tidak ada suprainstitusional yang diakui oleh mereka untuk mengadili revolusioner, maka akhirnya partai – partai dalam konflik revolusioner ini menggunakan bantuan teknik – teknik persuasi massa, seringkali dengan melibatkan kekuatan. Meskipun revolusi mempunyai peran yang vital dalam evolusi lembaga – lembaga politik, peran itu bergantung pada apakah revolusi itu merupakan peristiwa yang sebagian ekstrapolitis dan ekstrainstitusional.

Seperti pemilihan diantara lembaga – lembaga politik yang bersaing, pemilihan diantara paradigma – paradigma yang bersaingan ternyata merupakan pemilihan diantara modus – modus kehidupan masyarakat yang bertentangan. Karena ia memiliki karakter itu, pemilihannya tidak dan tidak dapat hanya ditentukan dengan prosedur evaluatif yang menjadi karakteristik sains yang normal, sebab hal ini sebagian bergantung pada paradigma tertentu, dan paradigma itu sedang dipermasalahkan.  Jika paradigma – paradigma, sebagaimana mestinya,  masuk kedalam debat tentang pemilihan paradigma maka perannya perlu sirkular. Masing – masing kelompok   menggunakan paradigmanya sendiri untuk argumentasi dalam membela paradigma itu. Sirkularitas yang diakibatkannya itu, tentu saja, tidak menyebabkan argumen – argument tersebut salah atau bahkan tidak berpengaruh.

Pada prinsipnya, gejala baru bisa muncul tanpa menimbulkan kehancuran pada bagian manapun dari praktek sains yang lalu. Meskipun penemuan kehidupan pada bulan sekarang akan menghancurkan paradigma – paradigma yang ada (paradigma – paradigma itu mengatakan kepada kita tentang bulan yang tampaknya tidak selaras dengan kehadiran kehidupan disana), penemuan kehidupan pada bagian yang kurang begitu dikenal dari galaksi ini tidak demikian. Begitupula suatu teori baru tidak perlu bertentangan dengan teori manapun yang menjadi pendahulunya. Ia bisa saja menangani semata – mata gejala yang tidak dikenal sebelumnya seperti teori kuantum menangani (tetapi secara siknifikan dan eksklusif) gejala subatomik  yang tidak dikenal sebelum abad ke – 20.

Juga teori baru itu bisa jadi sekedar teori yang lebih tinggi tingkatnya daripada yang telah dikenal sebelumnya, teori yang menjalin erat seluruh kelompok teori tingkat yang lebih rendah tanpa banyak mengubah yang manapun. Gejala – gejala jenis baru hanya akan menyingkapkan ketertiban dalam suatu aspek alam yang sebelumnya tidak pernah terlihat. Dalam evolusi sains, pengetahuan yang baru harus menggantikan ketidaktahuan, bukan menggantikan pengetahuan jenis yang lain dan yang tak selaras.

Orang yang bertujuan memecahkan masalah yang ditetapkan oleh pengetahuan dan teknik yang ada, bagaimaanapun, bukan sekedar mencari – cari. Ia tahu apa yang hendak dicapainya, dan ia merancang perkakasnya serta mengarahkan pikirannya sesuai dengan itu. Hal baru yang tidak diantisipasi, penemuan baru, hanya muncul menurut taraf ketika antisipasinya tentang alam dan perkakasnya ternyata salah. Pentingnya penemuan yang dihasilkan itu sering akan dengan sendirinya sebanding dengan taraf dan kebandelan anomali  yang menggambarkannya. Maka jelas bahwa harus ada konflik antara paradigma yang menyingkapkan anomali dan paradigma yang kemudian membuat anomali mencjadi seperti hukum.

Pada prinsipnya hanya ada tiga gejala yang disekitarnya bisa berkembang teori baru. Yang pertama terdiri atas gejala – gejala yang telah diterangkan dengan jelas oleh paradigma – paradigma yang ada, dan gejala – gejala ini jarang menyajikan motif ataupun titik tolak bagi penyusunan teori. Kelas gejala yang kedua terdiri atas gejala – gejala yang sifatnya ditunjukkan oleh paradigma – paradigma yang ada, tetapi yang rinciannya hanya dapat dipahami melalui artikulasi teori selanjutnya. Inilah gejala – gejala yang sering menjadi tempat para ilmuwan mengarahkan riset mereka, tetapi riset itu ditujukan kepada artikulasi paradigma – paradigma yang ada, bukan pada penciptaan yang baru. Jika upaya – upaya pada artikulasi ini gagal, barulah para ilmuwan menghadapi gejala tipe ketiga, yaitu anomali – anomali yang diakui yang karakteristiknya menandai kebandelannya dalam menolak pengasimilasian kepada paradigma – paradigma yang ada. Hanya tipe inilah yang menimbulkan teori – teori baru. Paradigma – paradigma menyajikan tempat yang ditetapkan dengan teori didalam medan pandang ilmuwan kepada semua gejala kecuali anomali – anomali.

Dalam proses asimilasi, yang kedua harus menggantikan yang pertama. Bahkan teori seperti penghematan energi, yang sekarang tampaknya seperti superstruktur yang logis yang pertaliannya dengan alam hanya melalui teori – teori yang ditetapkan secara independen, secara historis tidak dikembangkan tanpa penghancuran paradigma. Akan tetapi, ia muncul dari suatu krisis yang mengandung unsur esensial berupa ketidakselarasan antara dinamika Newton dengan konsekwensi – konsekwensi dari teori kalori dari panas yang dirumuskan baru – baru ini. Hanya setelah teori kalori itu ditolak, penghematan energi menjadi bagian dari sains.

Dinamika relativistik     tidak akan dapat menunjukkan bahwa dinamika Newton itu salah karena dinamika Newton masih dipakai dengan sangat berhasil oleh kebanyakan insinyur dan, dalam penerapan pilihan, oleh banyak ahli fisika. Selanjutnya, kepatutan penggunaan teori yang lebih tua ini dapat dibuktikan justeru dari teori yang, dalam penerapan lain, menggantikannya. Teori Einstein dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa prakiraan – prakiraan dari persamaan – persamaan Newton akan sama baiknya dengan instrument ukur kita dalam semua penerapan yang memenuhi sejumlah kecil syarat yang membatasi.

Jika sains Einstein tampaknya membuat dinamika Newton salah, itu hanyalah karena beberapa pengikut Newton begitu ceroboh sehingga mengklaim bahwa teori Newton memberikan hasil yang persis seluruhnya atau bahwa ia sahih pada kecepatan relatif yang sangat tinggi. Karena mereka tidak mungkin mempunyai bukti bagi klaim – klaim seperti itu, mereka mengkhianati standar – standar sains jika membuatnya. Sampai sejauh ini, teori Newton selalu merupakan teori sains sejati yang didukung oleh bukti yang sahih, dan masih tetap demikian.

Teori flogiston yang sering difitnah, misalnya, menertibkan sejumlah besar gejala fisika dan kimia. Ia menerangkan mengapa benda – benda terbakar, benda – benda itu kaya akan flogiston, dan mengapa logam – logam memiliki jauh lebih banyak sifat yang sama dibandingkan dengan biji logam – logam tersebut. Semua logam terdiri atas berbagai unsur tanah yang digabungkan dengan flogiston, dan flogiston ini, yang terdapat pada semua logam, memberikan sifat yang sama. Selain itu, teori flogiston berjasa bagi sejumlah reaksi yang didalamnya terbentuk asam – asam oleh pembakaran zat – zat seperti karbon dan belerang. Ia juga menerangkan pengurangan volume jika pembakaran terjadi di dalam volume udara yang terbatas. Flogiston yang dilepaskan oleh pembakaran itu “membusukkan” elastisitas udara yang menyerapnya, persis seperti api “membusukkan” elastisitas per baja. Jika hanya itu gejala – gejala yang diklaim oleh para teoris flogiston bagi teori mereka, maka teori itu tidak akan pernah bisa diragukan. Argumen yang serupa akan cukup bagi setiap teori yang pernah berhasil diterapkan pada jajaran gejala apa saja.

Tanpa komitmen pada suatu paradigma tidak akan ada sains yang normal. Apalagi komitmen itu harus meluas ke wilayah dan ke tingkat  presisi yang belum ada presedennya yang penuh. Kalau tidak, maka paradigma itu tidak akan bisa menyajikan teka – teki yang belum dipecahkan. Disamping itu, tidak hanya sains yang normal yang bergantung pda komitmen kepada suatu paradigma. Jika teori yang ada hanya mengikat ilmuwan dalam hubungannya dengan penerapan yang ada, maka tidak akan ada kejutan, anomali, atau krisis. Akan tetapi, ini hanyalah rambu yang menunjukkan jalan menuju sains istimewa. Jika pembatasan positivistik atas jangkauan penerapan teori yang sah diartikan secara harfiah, maka mekanisme yang memberi tahu masyarakat ilmiah masalah – masalah apa yang bisa mengakibatkan perubahan fundamental harus berhenti berfungsi. Dan bila hal itu terjadi, maka masyarakat itu tak dapat dihindari akan kembali kepada sesuatu yang sangat menyerupai keadaan praparadigmanya, suatu keadaan dimana semua anggota memperaktekkan sains, tetapi yang hasil kotornya hampir  tidak menyerupai  sains sama sekali.

Meskipun teori yang sudah usang selalu dapat dipandang sebagai kasus khusus dari penerusnya yang mutakhir, untuk tujuannya ia harus ditransformasikan. Dan transformasi itu ialah yang hanya dapat dilaksanakan dengan keuntungan – keuntungan pandangan ke masa lalu, bimbingan yang jelas dari teori yang lebih baru. Apalagi, bila transformasi itu merupakan peranti yang sah untuk digunakan dalam menginterpretasikan teori yang lebih lama, hasil penerapannya akan merupakan teori yang begitu terbatas sehingga ia hanya dapat mengemukakan kembali apa yang sudah diketahui. Karena ekonomisnya, pengemukaan kembali itu akan mempunyai kegunaan, tetapi tidak akan memadai untuk menjadi pedoman riset.

Paradigma – paradigma yang berurutan mengatakan kepada kita hal – hal yang berbeda tentang populasi alam semesta dan tentang perilaku populasi itu. Artinya, mereka berbeda di sekitar pertanyaan – pertanyaan seperti adanya partikel – partikel subatomik, bahwa cahaya itu materi, dan penghematan panas atau energi. Inilah perbedaan – perberdaan yang sesungguhnya diantara paradigma – paradigma yang berurutan, dan mereka tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Akan tetapi, paradigma – paradigma berbeda pada lebih dari hakekatnya, sebab mereka tidak hanya diarahkan kepada alam, tetapi juga ke belakang, kepada sains yang menghasilkannya. Merekalah sumber metode – metode, bidang masalah, dan standar – standar pemecahan yang diterima oleh setiap masyarakat sains yang matang pada setiap masa tertentu. Akibatnya, penerimaan suatu paradigma baru sering memerlukan pendefinisian ulang sains yang bersangkutan.

Dampak karya Newton terhadap tradisi yang normal dari praktek sains abad ke 17 menyajikan contoh yang jelas sekali tentang efek – efek yang lebih halus dari perubahan paradigma. Sebelum Newton lahir, “sains baru” dari abad itu akhirnya berhasil menolak penjelasan aliran Aristoteles dan aliran skolastik yang diungkapkan dari segi esensi – esensi benda – benda material. Mengatakan bahwa batu jatuh karena “sifat” batu itu mendorongnya ke pusat alam semesta telah dibuat agar tampak hanya sebagai permaianan kata tautologies, sesuatu yang  sebelumnya tidak ada. Sejak itu keseluruhan perubahan yang terus – menerus pada penampilan inderawi, termasuk warna, rasa, dan bahkan bobot akan diterangkan dari segi ukuran, bentuk, posisi, dan gerakan korpuskel – korpuskel elementer dari materi dasar.

Pengatributan sifat – sifat lain kepada ataom – atom elemnter merupakan permintaan bantuan kepada yang gaib dan, karena itu, berada diluar batas segi sains. Dengan tepat Moliere menangkap jiwa baru itu ketika ia mengejek dokter yang menerangkan kemanjuran opium sebagai obat tidur dengan mengatributkan potensi menghentikan kegiatan organ tubuh kepadanya. Dalam paruh terakhir abad ke 17 banyak ilmuwan yang lebih suka mengatakan bentuk partikel – partikel opium yang bundar menyebabkanpartikel – partikel itu dapat menenangkan saraf yang dikelilingi oleh gerakan – gerakan mereka.

Karena korpuskel – korpuskel netral dapat beraksi terhadap satu sama lain hanya dengan sentuhan, pandangan mekanikokorpuskular terhadap alam mengarahkan perhatian sains kepada subyek studi yang sangat baru, yakni perubahan gerakan partikel oleh tabrakan. Descartes mengumumkan masalah itu dan menyajikan pemecahan dugaan yang pertama. Huygens, Wren, dan Wallis membawanya lebih jauh lagi, sebagian dengan eksperimen  dengan kepala pendulum yang bertabrakan, tetapi kebanyakan dengan menerapkan karekteristik – karekteristik gerakan, yang sebelum itu sudah sangat dikenal, kepada masalah baru itu. Dan Newton menanamkan hasil mereka dalam hukum – hukum gerakannya. “Aksi” dan “reaksi” yang sebanding dari hukum yang ketiga adalah perubahan – perubahan dalam kuantitas gerakan yang dialami oleh kedua pihak yang bertabrakan. Perubahan gerakan yang sama menyajikan definisi daya dinamis yang tercakup di dalam hukum yang kedua. Dalam hal ini, seperti dalam banyak hal lainnya selama abad ke 17, paradigma korpuskular itu melahirkan suatu masalah baru serta sebagian besar dari pemecahan masalah itu.

Meskipun sebagian besar dari karya Newton itu ditujukan kepada masalah – masalah dan mengandung standar – standar yang diturunkan dari pandangan dunia mekanikokorpuskular, efek paradigma yang dihasilkan dari karyanya adalah perubahan lebih lanjut dari sebagian destruktif dalam masalah – masalah dan standar – standar yang sah bagi sains. Gravitasi, yang diintepretasikan sebagai tarikan yang merupakan bawaan diantara setiap pasang partikel, adalah sifat gaib dalam arti yang sama dengan “kecenderungan untuk jatuh” dari aliran skolastik sebelumnya. Oleh sebab itu, sementara standar – standar korpuskularisme tetap berlaku, pencarian penjelasan mekanis dari gravitasi merupakan salah satu masalah yang paling menantang bagi yang menerima Principia sebagai paradigma.

Karena tidak dapat memperaktekkan sains tanpa Principia maupun memberlakukannya sesuai dengan standar – standar korpuskolar dari abad ke 17, para ilmuwan lambat  laun menerima pandangan bahwa gravitasi itu memang bawaan. Pada sekitar abad ke 18 interpretasi itu telah diterima secara hampir universal, dan hasilnya adalah pengembalian yang tulus (yang tidak sama dengan kemunduran) kepada standar skolastik. Tarikan dan tolakan bawaan bergabung dengan ukuran, bentuk, posisi, dan gerakan sebagai sifat – sifat primer materi yang secara fisikal tidak dapat direduksi.

Kumpulan besar kepustakaan abad ke – 18 tentang gaya tarik kimiawi dan rangkaian penggantian pun diturunkan dari aspek supramekanis dari Newtonianisme. Para ahli kimia yang percaya kepada tarikan diferensial diantara berbagai species kimiawi ini memulai eksperimen – eksperimen yang sebelumnya tak terbayangkan dan mencari jenis – jenis reaksi yang baru. Tanpa data – data dan konsep – konsep kimia yang berkembang dalam proses itu, karya belakangan dari Lavoisier dan, terutama sekali, dari Dalton tidak akan bisa dipahami. Perubahan – perubahan dalam standar yang mengenai masalah, konsep, dan penjelasan yang diperbolehkan dapat mentransformasikan suatu sains.

Sebelum revolusi kimia, salah satu tugas kimia yang diakui ialah melaporkan sifat – sifat zat kimia dan perubahan sifat – sifat ini yang terjadi dalam reaksi kimia. Dengan bantuan sejumlah kecil “prinsip” elementer, salah satu diantaranya adalah flogiston, ahli kimia akan menerangkan mengapa ada zat yang keasaman, kelogaman dapat dibakar, dan sebagainya. Clerk Maxwell bersama pendukung teori gelombang cahaya lainnya pada abad ke – 19 sama – sama yakin bahwa gelombang cahaya mesti disebarkan melalui eter material. Merancang medium mekanis untuk mendukung gelombang itu merupakan masalah standar bagi banyak rekan sezamannya paling mampu. Namun, teorinya sendiri, yakni teori elerktromanetik dari cahaya, sama sekali tidak membuat laporan tentang medium yang mampu mendukung gelombang cahaya, dan hal itu jelas menyebabkan laporan demikian lebih sukar disajikan daripada yang diduga sebelumnya.

Dengan memindahkan tekanan dari fungsi paradigma yang kognitif kepada yang normatif, contoh – contoh yang lalu memperluas pemahaman kita tentang cara – cara paradigma memberi bentuk kepada kehidupan sains. Dalam mempelajari paradigma, ilmuwan memperoleh teori, metode, dan standar bersama – sama, biasanya dalam campuran yang tak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, jika paradigma berubah, biasanya terdapat perubahan yang berarti dalam kriteria yang menetapkan ke- sah- an masalah maupun pemecahan yang diajukan. Betapapun signifikan dan tidak lengkapnya, sejauh dua aliran sains tidak sepakat tentang apa masalah dan apa pemecahan itu, tak dapat dihindarkan mereka akan berbicara untuk saling meyakinkan ketika memperdebatkan kebaikan relatif dari paradigma mereka masing – masing. Dalam argumentasi yang sebagian sirkular yang dihasilkannya, paradigma masing – masing akan diperlihatkan untuk sedikit banyak akan memenuhi kriteria yang akan ditentukannya bagi dirinya sendiri dan untuk merendahkan yang ditetapkan oleh lawannya. Ada juga alasan lain bagi ketidaklengkapan hubungan logis yang secara konsisten menjadi karakteristik perdebatan paradigma. Sesuatu yang bahkan lebih fundamental daripada standar – standar dan nilai – nilai, bagaimanpun juga dipertaruhkan.

 

 

Adapted, Concluded and Posted By:

Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.

Lecturer, Advocate and Legal Consultant

Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002

 

News Feed