EFEKTIVITAS KONTRAK/KLAUSUL  ARBITRASE SEBAGAI SUATU ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH BUSINESS

HUKUM1,702 views

FRANCE-JUSTICE-ADIDAS-TAPIE-TRIAL

EFEKTIVITAS KONTRAK/KLAUSUL  ARBITRASE SEBAGAI SUATU ALTERNATIF
PENYELESAIAN MASALAH BUSINESS

 

Kontrak Arbitrase adalah suatu kesepakatan (sebelum atau setelah terjadinya sengketa) antara pihak yang bersengketa untuk membawa penyelesaian masalah hukum  ke lembaga arbitarase setiap sengketa (disputes) yang timbul akibat interaksi business atau transaksi (transaction) tertentu dalam hubungan perniagaan. Istilah “KONTRAK ARBITRASE” diintrodusir karena dalam suatu kontrak dicantumkan “klausul arbitrase” sebagai pilihan hukum (choice of law) untuk penyelesaian sengketa, antara lain frasa sederhana dari suatu klausul yang berbunyi Any dispute arising out of this agreement shall be settled by Arbitration (Setiap sengketa yang timbul dari perjanjian ini harus diselesaikan melalui Arbitrase)”.

Dapat dikatakan bahwa pada umumnya setiap aktivitas business secara yuridis formal diformulasikan dalam suatu akta perjanjian kerjasama (agreement, overeenkomst) yang disebut kontrak (contract).  Secara definitif (meskipun masing – masing ahli hukum mengintrodusir doctrine tersendiri) maka dapat disimpulkan bahwa KONTRAK adalah  persesuaian kehendak (kesepakatan) mengenai hal – hal yang diperjanjikan (promissory agreement) yang bersifat jamak pihak (dua pihak atau lebih) yang bertujuan menimbulkan/menciptakan, menghilangkan/menghapuskan atau memperbaharui  suatu hubungan hukum (rechtsbetrekking, legal relationship. Regulasi mengenai “hukum kontrak” di Indonesia, antara lain diatur/dirumuskan dalam ketentuan – ketentuan sebagai berikut:

  1. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata/KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek/BW);
  2. Kitab Undang – Undang Hukum Dagang/KUHD (Wetboek van Koophandel voor Indonesie);
  3. Peraturan perundang – undangan lain yang mengatur khusus untuk jenis kontrak tertentu atau mengatur aspek tertentu dari kontrak;
  4. Yurisprudensi;
  5. Perjanjian Internasional, baik yang bersifat bilateral maupun yang bersifat multilateral, yang mengatur lingkup (scope) international business;
  6. Kebiasaan – kebiasaan dalam praktek dunia usaha;
  7. Doctrine dari ahli hukum yang terkemuka dan sudah lazim diterapkan dalam praktek hubungan business;;
  8. Hukum Adat di daerah tertentu mengenai kontrak – kontrak yang bersifat tradisional.

Akan tetapi, dalam praktek hubungan perniagaan/hubungan usaha kerjasama (business relationship), seringkali timbul perselisihan hukum antara Kedua Belah Pihak atau Para Pihak yang mengikatkan diri dalam suatu kontrak.  Biasanya dalam suatu kontrak, Para Pihak telah menentukan pola atau model penyelesaian sengketa sebagai salah satu klausul yang termaktub dalam kontrak. Pertama, Para Pihak yang mengikatkan diri dalam kontrak akan menyebutkan klausul yang berbunyi, “Apabila timbul sengketa antara Para Pihak atas pelaksanaan ini, maka Para Pihak akan menyelesaikan secara musyawarah kekeluargaan untuk mufakat”. Selanjutnya, ditegaskan pula dalam klausul berikutnya ketentuan yang berbunyi, “Apabila upaya musyawarah kekeluargaan untuk mufakat tidak tercapai maka Para Pihak akan menyelesaikannya melalui Pengadilan Negeri Jakarta Timur (catatan: optional)”.

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, upaya penyelesaian sengketa yang bersifat litigasi melalui LEMBAGA PENGADILAN sering dianggap dapat merusak good will dan hubungan baik antara  Para Pihak bahkan dapat  mempengaruhi performa dan reputasi suatu pihak yang bersengketa melalui Pengadilan. Oleh karena itu, sering kali Para Pihak kemudian sepakat untuk menempuh upaya penyelesaian masalah hukum atau sengketa melalui lembaga lain seperti ARBITRASE.

Pada hakekatnya, penyelesaian sengketa melalui lembaga Arbitrase adalah salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR), dimana menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ditegaskan bahwa “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.

Selain ketentuan dalam Pasal 1 angka 10 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut,  sejak masa yang lampau eksistensi Arbitrase di Indonesia juga diatur dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg yang berbunyi: “Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.

Konkritisasi dari ketentuan Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg tersebut adalah:

  • Pihak – pihak yang bersengketa diperbolehkan menyelesaikan sengketa melalui JURU PISAH atau ARBITRASE;
  • Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa dalam bentuk putusan;
  • Baik Para Pihak maupun ARBITRATOR atau ARBITER wajib tunduk atau mematuhi peraturan hukum yang berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa.

Ketentuan Pasal 377 HIR atau Pasal 705 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) merupakan manipestasi atau pengejawantahan dari Ketentuan Pasal 615 s/d Pasal 651 Rv, dimana hal tersebut merupakan implikasi dari Politik Hukum Pemerintah Hindia Belanda yang termaktub dalam Pasal 75 RR dan Pasal 131 IS yang dikenal sebagai pembagian 3 (tiga) kelompok penduduk dengan sistem hukum dan lingkungan peradilan yang bercorak pluralistik. Dalam konteks ini, maka bagi golongan penduduk Timur Asing dan Eropa, hukum perdata materil yang dierlakukan adalah KUHPerdata (BW) dan KUHD (WvK), sedangkan Hukum Acara Perdata yang diberlakukan adalah Reglemen Acara Perdata (Reglement of de Rechtsvordering/Rv). Dalam Buku Ketiga Reglemen Acara Perdata, Tentang Aneka Acara, pada Bab Pertama diatur ketentuan mengenai PUTUSAN WASIT (ARBITRASE) yang meliputi Pasal 615 s/d Pasal 651.

Dalam konteks wacana Arbitrase, ada sebahagian pihak yang beranggapan bahwa penyelesaian sengketa di luar Lembaga Pengadilan yaitu melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR),  dengan alasan:

  1. Proses lebih cepat, artinya penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dalam hitungan hari, minggu atau bulan, tidak seperti halnya penyelesaian melalui lembaga Pengadilan, yang membutuhkan waktu berbulan – bulan bahkan bertahun – tahun;
  2. Biaya lebih murah dibandingkan penyelesaian sengketa atau permasalahan hukum melalui lembaga Pengadilan;
  3. Sifatnya informal karena segala sesuatunya dapat ditentukan oleh para pihak yang bersengketa seperti menentukan jadwal pertemuan, tempat pertemuan, ketentuan – ketentuan yang mengatur pertemuan para pihak, dan sebagainya;
  4. Kerahasiaan terjamin, artinya materi yang dibicarakan hanya diketahui oleh kalangan terbatas, sehingga kerahasiaan dapat terjamin dan tidak tersebar luas atau terpublikasikan;
  5. Adanya kebebasan memilih pihak ketiga, artinya para pihak dapat memilih pihak ketiga yang netral yang mereka hormati dan percayai serta mempunyai keahlian di biangnya;
  6. Dapat menjaga hubungan baik persahabatan, sebab dalam proses yang informal para pihak berusaha keras dan berjuang untuk mencapai penyelesaian sengketa secara koperatif sehingga para pihak tetap dapat menjaga hubungan baik;
  7. Lebih mudah mengadakan perbaikan – perbaikan, artinya apabila menggunakan upaya ADR akan lebih mudah mengadakan perbaikan terhadap kesepakatan yang telah dicapai seperti menegosiasikan kembali suatu kontrak baik mengenai substansi maupun pertimbangan yang menjadi landasannya termasuk konsideran yang sifatnya non yuridis;
  8. Bersifat final, artinya putusan yang diambil oleh para pihak adalah final sesuai kesepakatan yang telah dituangkan di dalam kontrak;
  9. Pelaksanaan tatap muka yang pasti, artinya para pihaklah yang menentukan secara pasti baik mengenai waktu, tempat, dan agenda untuk mendiskusikan dan mencari jalan keluar atas sengketa atau permasalahan hukum yang terjadi;
  10. Tata cara penyelesaian sengketa diatur sendiri oleh para pihak, sebab tidak terikat oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Menelaah pendapat sebagian pihak atau kalangan tertentu mengenai efektivitas lembaga Arbitrase sebagai salah satu bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR),  menurut Penulis sangatlah tidak tepat, bahkan justeru dalam prakteknya khususnya di Indonesia justeru dianggap tidak efisien dan efektif. Kenyataan demikian diseabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

  1. Model penyelesaian sengketa atau permasalahan hukum melalui lembaga Arbitrase, sering dijadikan siasat oleh pihak yang mempunyai itikad buruk (bad faith) untuk menciptakan “masa mengambang” (floating mass) bahkan “jalan buntu” (deadlock) dalam penyelesaian sengketa hukum yang terjadi;
  2. Kebebasan yang dimiliki oleh Para Pihak dalam hal tata muka atau pertemuan, justeru sering dijadikan alasan untuk menunda – tunda atau mengulur – ulur waktu menyelesaikan sengketa hukum yang terjadi;
  3. Justeru BIAYA ADMINISTRASI PENYELESAIAN PERKARA melalui lembaga Arbitrase kategorinya cukup mahal yaitu berkisar antara 0,5 % (nol koma lima persen) sampai dengan 10 % (sepuluh persen) dari “NILAI TUNTUTAN” diluar Biaya Pemanggilan, Transportasi dan honorarium saksi dan/atau tenaga ahli serta biaya – biaya lainnya.
  4. Putusan Arbitrase (seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) harus diserahkan/didaftarkan di Pengadilan Negeri yang berkompeten;
  5. Eksekusi atau pelaksanaan Putusan Arbitrase (seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) harus dilakukan oleh Pengadilan Negeri yang berkompeten;
  6. Oleh karena tata cara penyelesaian sengketa ditentukan sendiri oleh para pihak, maka tidak ada ketentuan normatif yang dapat memaksa pihak – pihak yang beritikad tidak baik agar tidak menyalahgunakan keadaan;
  7. Merujuk pada hal – hal yang dipaparkan tersebut, maka terdapat kesan bahwa proses penyelesaian sengketa melalui lembaga Arbitrase tidak menjamin terwujudnya asas cepat, seerhana dan biaya ringan;
  8. Dalam proses persidangan di Lembaga Pengadilan juga terdapat dan harus terlebih dahulu menempuh persidangan MEDIASI sebelum memasuki pemeriksaan pokok perkara, sehingga apabila Para Pihak pada dasarnya mempunyai itikad baik (good faith) untuk berdamai maka dapat dilakukan sebelum pemeriksaan pokok perkara, dan dari hasil perdamaian tersebut akan dikeluarkan PUTUSAN PERDAMAIAN yang bersifat final and binding.
Writer and Copy Right:
Dr. Appe  Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant

 

News Feed