PENERAPAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC)  DALAM PEMBERANTASAN TIPIKOR DI INDONESIA

HUKUM1,785 views

United Nations Office at Geneva (UNOG). Assembly hall. United Nations emblem.

PENERAPAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC)
 DALAM PEMBERANTASAN TIPIKOR DI INDONESIA

 

Berpedoman pada ketentuan – ketentuan dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), konvensi internasional terhadap pemberaantasan korupsi yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) ini,  termasuk treaty yang tidak sekedar menegaskan tindak pidana korupsi    sebagai suatu kejahatan internasional,  tetapi juga mewajibkan para negara peserta untuk menuntut atau mengekstradisi para pelaku tindakan tersebut berdasarkan hukum nasional sebagaimana termaktub dalam Pasal 30 UNCAC. Kewajiban imperatif tersebut disertai  dengan komitmen para negara peserta  (seluruh negara yang turut meratifikasi konvensi tersebut) untuk berperan aktif secara sinergis  dalam upaya pemberantasan korupsi secara global dan saling memberikan dukungan konkrit.

Kesepakatan mengenai  UNCAC diawali  dari terselenggaranya 2  (dua) kali konferensi dunia tentang “Strategi Global Antikorupsi” di Washington DC –  Amerika yang diikuti oleh Kepala Pemerintahan dan pejabat setingkat menteri sebanyak kurang lebih 150 (seratus lima puluh) negara. Konferensi Kedua dilakukan di Den Haag –  Belanda sebagai pembahasan lanjutan dari Konferensi Pertama. Selanjutnya sebagai komitmen final yaitu  UNCAC disahkan dan ditandatangani oleh beberapa anggota PBB di Merida Mexico.

Dengan pengesahan UNCAC tersebut, membuktikan  fakta bahwa  betapa seriusnya dampak dari kejahatan korupsi terhadap peradaban dan kesejahteraan rakyat, baik dalam skala nasional maupun internasional. Mengingat bahwa korupsi tidak semata-mata persoalan hukum, akan tetapi juga persoalan ekonomi, sosial dan politik. Sehingga  upaya penegakkan hukum terhadap pemberantasan  tindak pidana korupsi  bersifat komprehensif dan multidisipliner, sebagaimana ditegaskan dalam  Pembukaan UNCAC, yang menyebutkan: “The States Parties to this Convention, Concerned about the seriousness ofproblems and threats posed by corruptionto the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law” (Negara-negara Pihak dalam konvensi ini, Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum).

Sebagai suatu Hukum Internasional, UNCAC memberikan kewajiban kepada negara peserta (state obligation) untuk mendukung penuh agenda pemerantasan korupsi secara global. Terhitung per 26 Juni 2018, total 186 negara telah menjadi negara pihak sebagai refleksi bersama mendukung agenda pemberantasan tindak pidana korupsi di negara – negara  tersebut. Indonesia termasuk negara yang telah menunjukkan komitmennya dalam memberantas korupsi dengan meratifikasi UNCAC ke dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia, berdasakan Undang – Undang  Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003).

Implikasi yuridis  dengan diratifikasinya UNCAC oleh negara Indonesia, maka Indonesia mempunyai kewajiban untuk mengimplementasikan ketentuan – ketentuan  UNCAC yang bersifat mandarory offences,  termasuk juga mengikuti mekanisme peer review implementasi UNCAC yang telah dilakukan dalam 2 putaran yaitu; Putaran I (Pertama) pada kurun tahun 2010 – tahun 2012 dengan Inggris dan Uzbekistan sebagai reviewer,  dan Putaran I (Kedua) pada kurun tahun 2016 – tahun 2019 dengan Yaman dan Ghana sebagai reviewer. Sebagaimana dikatakan oleh Agus Rahardjo bahwa proses review implementasi UNCAC menjadi momentum strategis untuk menunjukan serta mengapresiasi praktik-praktik baik yang selama ini telah dilaksanakan oleh Indonesia, juga untuk memperbaiki celah-celah dalam peraturan perundang-undangan maupun kebijakan Pemerintah yang masih mungkin disalahgunakan oleh para pelaku korupsi.

Pada prinsipnya dalam UNCAC dapat disimpulkan bahwa terdapat 32 rekomendasi dari hasil review UNCAC Putaran I (Pertama) dimana Indonesia baru menyelesaikan sekitar 8 rekomendasi,  sedangkan dari 21 rekomendasi hasil review Putaran II (Kedua)  Indonesia baru menyelesaikan sekitar 13 rekomendasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  mengidentifikasi terdapat  6 (enam) issue  prioritas yang perlu diselesaikan negara Indonesia dari rekomendasi Review UNCAC Putaran I dan II, antara lain: Penyelesaian Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); Peningkatan Transparansi dan Integritas Sektor Publik dan Penguatan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi; Peningkatan Transparansi dan Integritas Sektor Swasta; Penyelesaian Revisi Undang-Undang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (MLA); Penguatan Independensi dan Kelembagaan Lembaga Anti Korupsi; dan Penyelesaian Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

Konvensi Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) Tentang Antikorupsi (United Nations Convention Againts Corruption) telah diresepsi  dalam Sistem Hukum Indonesia yang disahkan berdasarkan  Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2006 berkaitan dengan politik hukum yang meratifikasi konvensi PBB tersebut. Dalam konteks hierarki peraturan perundan – undangan di Indonesia, Konvensi Antikorupsi tersebut kedudukannya  berada dibawah Undang-Undang Dasar sebagai grundnorm, namun dalam tataran keberlakuannya setara dengan keberlakuan Undang – Undang lain di Indonesia (sebagai hukum positif/positive law  yang berlaku di Indonesia).

Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa tidak semua ketentuan yang termaktub  dalam UNCAC wajib untuk dilaksanakan menurut hukum nasional masing-masing negara peserta. Ketentuan dalam UNCAC terbagi atas dua sifat pelaksanaan, yaitu mandatory offences dan non mandatory offences. Mandatory offences artinya ada kesepakatan seluruh peserta konvensi untuk mengatur tindakan tersebut dalam undang-undang nasionalnya sehingga menimbulkan kewajiban dari state party. Sebaliknya, non-mandatory offences artinya tidak ada kesepakatan diantara negara peserta konvensi untuk menyatakan tindakan tersebut sebagai suatu kejahatan (criminal act). Dengan demikian, maka negara peserta atau state parties tidak memiliki kewajiban untuk sepenuhnya memberlakukan ketentuan UNCAC dalam hukum positif (hukum nasional) yang berlaku di negara masing – masing  apabila tidak termasuk dalam kategori mandatory offences.

Terdapat beberapa tindak pidana yang sepatutnya diformulasikan dalam kerangka undang-undang tindak pidana korupsi untuk mengisi kekosongan hukum apabila sewaktu-waktu terjadi kejahatan yang justru memenuhi unsur delik dalam ketentuan UNCAC. Sehubungan dengan dalil tersebut, setidak – tidaknya ada  4 (empat)  tindak pidana korupsi dalam UNCAC yang bersifat non-mandatory offences yang  urgensinya sangat significant  untuk di atur lebih lanjut dalam undang-undang tindak pidana korupsi di Indonesia. Diantaranya yaitu:

  • Pertama, trading in influence atau perdagangan pengaruh. Trading in influence merupakan salah satu contoh ketentuan UNCAC yang bersifat non-mandatory offences yang sepatutnya diatur dalam ketentuan tindak pidana korupsi. Mengingat bahwa perbuatan yang secara substansi masuk sebagai Trading in influence secara nyata telah tumbuh dan berkembang di sektor perpolitikan Indonesia.
  • Kedua, tindak pidana korupsi di sektor swasta. Padahal, tingkat kerugian korupsi di sektor ini dapat dikatakan cukup tinggi. Beberapa pakar ekonomi yang mengatakan bahwa korupsi terbesar justru ada di korporasi swasta, senilai 119,7 triliun dari tahun 2001-2015, jumlah tersebut sekitar 60 persen dari nilai yang dikorupsi.
  • Ketiga, tindakan memperkaya diri secara tidak sah atau illicit enrichment. Pada dasarnya pengaturan illicit enrichment sangat berkaitan erat dengan laporan harta kekayaan. Tujuan adanya laporan harta kekayaan yaitu untuk mengukur kekayaan dan pendapatan pejabat publik, apabila harta kekayaan yang ia miliki melebihi pendapatan yang diterima dari gaji pejabat publik, maka ia harus membuktikan bahwa kelebihan kekayaan yang dimiliki itu diperoleh dengan cara yang sah menurut undang-undang. 
  • Keempat, penyuapan Pejabat Publik Asing dan Pejabat Internasional. Pengaturan terhadap ketentuan ini perlu diadopsi dalam ketentuan peraturan perundang-undangan untuk mengejar pelaku kajahatan korupsi yang bergerak lintas negara. Pada dasarnya ketentuan ini tidak hanya bertujuan untuk mendorong perusahaan agar mematuhi aturan yang telah ada, melainkan juga dalam konteks Negara melakukan tugasnya untuk melindungi (to protect) subjek hukumnya. Sehingga apabila dikaitkan dengan kepentingan nasionanl (bangsa dan negara) maka pelaku tindak pidana penyuapan  yang notabene berkewarganeraan indonesia lebih baik dan wajar diadili di negara Indonesia  menurut ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik dari pendekatan asas hukum pidana maupun dengan tujuan  agar kerugian keuangan negara dan denda yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat diinventarisasi secara akurat dan dimasukan kembali dalam kas Negara.

 

Dr. APPE  HUTAURUK, SH., MH.

News Feed