YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA  MENGENAI HUKUM PERDATA

VARIA PERADILAN115,154 views
British Cartoon.
YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA  MENGENAI HUKUM PERDATA

 

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 840 K/Sip/1975 Tanggal 4 Juli 1978, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Surat gugatan bukan merupakan akta dibawah tangan, maka surat gugatan tidak terikat pada ketentuan – ketentuan Pasal 286 (2) RBg jo. Stb. 1916 – 46 jo. Stb. 1919 – 776”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 769 K/Sip/1975 Tanggal 24 Agustus 1978, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan bercap jempol yang tidak dilegalisir, berdasarkan Yurisprudensi bukanlah batal menurut hukum, tetapi selalu dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1149 K/Sip/1975 Tanggal 17 April 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena surat gugatan tidak disebutkan dengan jelas letak/batas – batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 415 K/Sip/1975 Tanggal 27 Juni 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang ditujukan lebih dari seorang Tergugat, yang antara Tergugat – Tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya, tidak dapat diadakan dalam satu gugatan, tetapi masing – masing Tergugat harus digugat sendiri – sendiri”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  1075 K/Sip/1980, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum, karena petitum bertentangan dengan posita gugatan, gugatan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  663 K/Sip/1973 Tanggal 6 Agustus 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Petitum yang tidak mengenai hal yang menjadi obyek dalam perkara harus ditolak”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   28 K/Sip/1973 Tanggal 5 Nopember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena rechtfeiten yang diajukan bertentangan dengan petitum, gugatan harus ditolak”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   582 K/Sip/1973  Tanggal 18 Desember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   492 K/Sip/1970 Tanggal 21 Nopember 1970, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa – apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   1391 K/Sip/1975 Tanggal 26 April 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena dari gugatan Penggugat tidak jelas batas – batas dusun sengketa yang digugat, hanya disebutkan (bertanda II) saja, gugatan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   439 K/Sip/1968 Tanggal 8 Januari 1969, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Tentang tuntutan pengembalian barang/harta warisan dari tangan pihak ketiga kepada para ahli waris yang berhak, tidak perlu diajukan semua ahli waris”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   6 K/Sip/1973 Tanggal 21 Agustus 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena dasar gugatan tidak sempurna, dalam hal in karena hak Penggugat atas tanah sengketa tidak jelas”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  995 K/Sip/1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Bahwa terbanding semula Penggugat sebagai seorang debitor hanya sekedar mempunyai kewajiban – kewajiban, ialah untuk melunasi hutangnya dan tidak mempunyai hak terhadap kreditornya, sedangkan bagi pengajuan gugatan haruslah ada sesuatu hak yang dilanggar oleh orang lain, untuk dapat menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam suatu proses peradilan”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  1360 K/Sip/1973 Tanggal 17 Juni 1976, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi telah terlalu formal dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima, hanya karena Penggugat minta supaya tanah terperkara disahkan menjadi hak miliknya, sedangkan Penggugat mendasarkan gugatannya pada Hak Guna Usaha (HGU); Karena walaupun petitum menyebut milik, tetapi yang dimaksud adalah tanah dalam Hak Guna Usaha”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  4 K/Sip/1958 Tanggal 13 Desember 1958, Kaidah Hukumnya: “Syarat mutlak untuk menuntut seseorang di depan Pengadilan adalah adanya perselisihan hukum antara kedua pihak”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  175 K/Sip/1974 Tanggal 17 Juni 1976, Kaidah Hukumnya: “Bahwa Hakim pertama telah menjadikan isteri kedua dari Tergugat sebagai pihak ke III dalam perkara ini, dengan tiada lawan. Bahwa lebih tepat kepadanya diberi kedudukan dalam perkara sebagai Tergugat II disamping suaminya sebagai Tergugat I, mengingat ia masih tinggal bersama dan bersama – sama pula menguasai barang – barang cidra”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  457 K/Sip/1975 Tanggal 18 November 1975, Kaidah Hukumnya: “Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai Turut Tergugat (yang dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkar”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  305 K/Sip/1971 Tanggal 16 Juni 1971, Kaidah Hukumnya: “Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk karena jabatannya menempatkan seseorang yang tidak digugat sebagai Tergugat, karena hal tersebut adalah bertentangan dengan azas acara perdata, bahwa hanya penggugatlah yang berwenang untuk menentukan siapa – siapa yang digugatnya”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   1411 K/Sip/1978 Tanggal 13 Maret 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengikutsertaan pihak ketiga dalam suatu proses perdata yang sedang berjalan, ditentukan oleh ada tidaknya permintaan untuk itu dari para pihak atau pihak ketiga diluar perkara yang merasa berkepentingan”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   880 K/Sip/1973 Tanggal 6 Mei 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Bahwa oleh Hakim pertama, ketiga buah gugatan tersebut digabungkan menjadi satu perkara dan diputuskan dalam satu putusan tertanggal 24 Januari 1969  No. 10/1968/MKl. Bahwa ketiga gugatan itu ada hubungan satu dengan lainnya, sehingga meskipun menggabungkan gugatan – gugatan itu  tidak diatur dalam RBg (juga HIR) akan tetapi karena penggabungan itu akan memudahkan proses dan menghindarkan kemungkinan putusan – putusan yang saling bertentangan, maka penggabungan itu memang bermanfaat ditinjau dari segi acara (procesueel doelmatig)”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   1043 K/Sip/1971 Tanggal 3 Desember 1974, Kaidah Hukumnya berbunyi: “HIR tidak mengatur hal penggabungan gugatan, maka terserah pada pandangan hakim dalam hal mana penggabungan itu diizinkan asal tidak bertentangan dengan prinsip cepat dan murah”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 677 K/Sip/1972 Tanggal 13 Desember 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Dalam perkara yang berhubungan erat satu dengan lainnya tetapi masing – masing tunduk pada hukum acara yang berbeda tidak boleh digabungkan, seperti halnya dalam perkara ini. Perkara yang satu adalah suatu gugatan (permohonan) berdasarkan Undang – Undang No. 21 Tahun 1961, yang perkara demikian ini; terikat pada suatu jangka waktu 9 bulan; terhadap putusan tidak dapat diajukan banding; putusan baru dapat didaftarkan kepada Kantor Milik Perindustrian setelah putusan memperoleh kekuatan hukum pasti, sehingga tidak lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorrad). Perkara yang lainnya adalah gugatan berdasarkan Pasal 1365 BW, yang terhadap putusannya dapat diajukan banding; lagipula gugatan ini sebenarnya baru dapat diajukan setelah terhadap gugatan tentang merk diperoleh putusan yang memperoleh kekuatan hukum pasti”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 201 K/Sip/1974 Tanggal 28 Agustus 1976, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena sawah – sawah tersebut pemiliknya berlainan, seharusnya masing – masing pemilik itu secara sendiri – sendiri menggugat masing – masing orang yang merugikan hak mereka dan kini memegang sawah – sawah itu; cumulatie gugatan – gugatan yang tidak ada hubungannya satu sama lain seperti yang dilakukan sekarang ini, tidak dapat dibenarkan”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 677 K/Sip/1972 Tanggal 13 Desember 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Menurut yurisprudensi dimungkinkan penggabungan gugatan – gugatan dari satu pihak dalam hal antara gugatan – gugatan itu terdapat hubungan yang erat, tetapi adalah tidak layak penggabungan dua perkara dalam bentuk, perkara yang satu (i.C. perkara No. 53/1972 G) dijadikan gugatan rekonpensi terhadap perkara yang lain (i.c. perkara No. 521/1971 G)”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  123 K/Sip/1963 Tanggal 13 Juli  1963, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Dengan digabungkannya 3 perkara menjadi satu, surat – surat kuasa yang oleh salah satu pihak diberikan kepada seorang kuasa yang ada pada ke 3 perkara tersebut seharusnya juga dipertimbangkan sebagai satu kesatuan; sehingga ketidaksempurnaan yang terdapat pada salah satu dari surat – surat kuasa itu haruslah dianggap telah diperbaiki oleh surat kuasa yang lain”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   343 K/Sip/1975  Tanggal 17 Februari  1977,  Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena antara Tergugat – Tergugat I s/d IX tidak ada hubungannya satu dengan lainnya, tidaklah tepat mereka digugat sekaligus dalam satu surat gugatan; seharusnya mereka digugat satu per satu secara terpisah. Gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:    1652 K/Sip/1975 Tanggal 22 September 1976, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Kumulasi dari beberapa gugatan yang berhubungan erat satu dengan lainnya tidak bertentangan dengan hukum acara yang berlaku”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  415 K/Sip/1975 Tanggal 20 Juni 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang ditujukan kepada lebih  dari seorang Tergugat, yang antara Tergugat – Tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya, tidak dapat diadakan didalam satu gugatan, tetapi masing – masing Tergugat harus digugat tersendiri”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  1367 K/Pdt/1986 Tanggal 25 Juli 1987, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Penggabungan gugatan terhadap dua subyek hukum yang berbeda (Tergugat asal I dan Tergugat asal II) dengan dua peristiwa hukum yang berlainan (perjanjian utang – piutang dan perjanjian jual – beli mobil), sekalipun akibat hukum yang ditimbulkan akan berupa wanprestasi, namun kewajiban yang ditimbulkan dari keadaan wanprestasi tersebut adalah berbeda satu sama lain yang menurut hukum acara tidak dapat digabungkan dalam satu gugatan (tuntutan)”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 840 K/Sip/1975 Tanggal 4 Juli 1978, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Surat gugatan bukan merupakan akta dibawah tangan, maka surat gugatan tidak terikat pada ketentuan – ketentuan Pasal 286 (2) RBg jo. Stb. 1916 – 46 jo. Stb. 1919 – 776”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 769 K/Sip/1975 Tanggal 24 Agustus 1978, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan bercap jempol yang tidak dilegalisir, berdasarkan Yurisprudensi bukanlah batal menurut hukum, tetapi selalu dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1149 K/Sip/1975 Tanggal 17 April 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena surat gugatan tidak disebutkan dengan jelas letak/batas – batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 415 K/Sip/1975 Tanggal 27 Juni 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang ditujukan lebih dari seorang Tergugat, yang antara Tergugat – Tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya, tidak dapat diadakan dalam satu gugatan, tetapi masing – masing Tergugat harus digugat sendiri – sendiri”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  1075 K/Sip/1980, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum, karena petitum bertentangan dengan posita gugatan, gugatan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  663 K/Sip/1973 Tanggal 6 Agustus 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Petitum yang tidak mengenai hal yang menjadi obyek dalam perkara harus ditolak”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   28 K/Sip/1973 Tanggal 5 Nopember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena rechtfeiten yang diajukan bertentangan dengan petitum, gugatan harus ditolak”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   582 K/Sip/1973  Tanggal 18 Desember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   492 K/Sip/1970 Tanggal 21 Nopember 1970, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa – apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   1391 K/Sip/1975 Tanggal 26 April 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena dari gugatan Penggugat tidak jelas batas – batas dusun sengketa yang digugat, hanya disebutkan (bertanda II) saja, gugatan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   439 K/Sip/1968 Tanggal 8 Januari 1969, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Tentang tuntutan pengembalian barang/harta warisan dari tangan pihak ketiga kepada para ahli waris yang berhak, tidak perlu diajukan semua ahli waris”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   6 K/Sip/1973 Tanggal 21 Agustus 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena dasar gugatan tidak sempurna, dalam hal in karena hak Penggugat atas tanah sengketa tidak jelas”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  995 K/Sip/1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Bahwa terbanding semula Penggugat sebagai seorang debitor hanya sekedar mempunyai kewajiban – kewajiban, ialah untuk melunasi hutangnya dan tidak mempunyai hak terhadap kreditornya, sedangkan bagi pengajuan gugatan haruslah ada sesuatu hak yang dilanggar oleh orang lain, untuk dapat menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam suatu proses peradilan”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  1360 K/Sip/1973 Tanggal 17 Juni 1976, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi telah terlalu formal dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima, hanya karena Penggugat minta supaya tanah terperkara disahkan menjadi hak miliknya, sedangkan Penggugat mendasarkan gugatannya pada Hak Guna Usaha (HGU); Karena walaupun petitum menyebut milik, tetapi yang dimaksud adalah tanah dalam Hak Guna Usaha”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  4 K/Sip/1958 Tanggal 13 Desember 1958, Kaidah Hukumnya: “Syarat mutlak untuk menuntut seseorang di depan Pengadilan adalah adanya perselisihan hukum antara kedua pihak”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  175 K/Sip/1974 Tanggal 17 Juni 1976, Kaidah Hukumnya: “Bahwa Hakim pertama telah menjadikan isteri kedua dari Tergugat sebagai pihak ke III dalam perkara ini, dengan tiada lawan. Bahwa lebih tepat kepadanya diberi kedudukan dalam perkara sebagai Tergugat II disamping suaminya sebagai Tergugat I, mengingat ia masih tinggal bersama dan bersama – sama pula menguasai barang – barang cidra”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  457 K/Sip/1975 Tanggal 18 November 1975, Kaidah Hukumnya: “Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai Turut Tergugat (yang dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkar”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  305 K/Sip/1971 Tanggal 16 Juni 1971, Kaidah Hukumnya: “Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk karena jabatannya menempatkan seseorang yang tidak digugat sebagai Tergugat, karena hal tersebut adalah bertentangan dengan azas acara perdata, bahwa hanya penggugatlah yang berwenang untuk menentukan siapa – siapa yang digugatnya”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   1411 K/Sip/1978 Tanggal 13 Maret 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengikutsertaan pihak ketiga dalam suatu proses perdata yang sedang berjalan, ditentukan oleh ada tidaknya permintaan untuk itu dari para pihak atau pihak ketiga diluar perkara yang merasa berkepentingan”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   880 K/Sip/1973 Tanggal 6 Mei 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Bahwa oleh Hakim pertama, ketiga buah gugatan tersebut digabungkan menjadi satu perkara dan diputuskan dalam satu putusan tertanggal 24 Januari 1969  No. 10/1968/MKl. Bahwa ketiga gugatan itu ada hubungan satu dengan lainnya, sehingga meskipun menggabungkan gugatan – gugatan itu  tidak diatur dalam RBg (juga HIR) akan tetapi karena penggabungan itu akan memudahkan proses dan menghindarkan kemungkinan putusan – putusan yang saling bertentangan, maka penggabungan itu memang bermanfaat ditinjau dari segi acara (procesueel doelmatig)”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   1043 K/Sip/1971 Tanggal 3 Desember 1974, Kaidah Hukumnya berbunyi: “HIR tidak mengatur hal penggabungan gugatan, maka terserah pada pandangan hakim dalam hal mana penggabungan itu diizinkan asal tidak bertentangan dengan prinsip cepat dan murah”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 840 K/Sip/1975 Tanggal 4 Juli 1978, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Surat gugatan bukan merupakan akta dibawah tangan, maka surat gugatan tidak terikat pada ketentuan – ketentuan Pasal 286 (2) RBg jo. Stb. 1916 – 46 jo. Stb. 1919 – 776”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 769 K/Sip/1975 Tanggal 24 Agustus 1978, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan bercap jempol yang tidak dilegalisir, berdasarkan Yurisprudensi bukanlah batal menurut hukum, tetapi selalu dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1149 K/Sip/1975 Tanggal 17 April 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena surat gugatan tidak disebutkan dengan jelas letak/batas – batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 415 K/Sip/1975 Tanggal 27 Juni 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang ditujukan lebih dari seorang Tergugat, yang antara Tergugat – Tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya, tidak dapat diadakan dalam satu gugatan, tetapi masing – masing Tergugat harus digugat sendiri – sendiri”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  1075 K/Sip/1980, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum, karena petitum bertentangan dengan posita gugatan, gugatan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  663 K/Sip/1973 Tanggal 6 Agustus 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Petitum yang tidak mengenai hal yang menjadi obyek dalam perkara harus ditolak”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   28 K/Sip/1973 Tanggal 5 Nopember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena rechtfeiten yang diajukan bertentangan dengan petitum, gugatan harus ditolak”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   582 K/Sip/1973  Tanggal 18 Desember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   492 K/Sip/1970 Tanggal 21 Nopember 1970, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa – apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   1391 K/Sip/1975 Tanggal 26 April 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena dari gugatan Penggugat tidak jelas batas – batas dusun sengketa yang digugat, hanya disebutkan (bertanda II) saja, gugatan tidak dapat diterima”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   439 K/Sip/1968 Tanggal 8 Januari 1969, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Tentang tuntutan pengembalian barang/harta warisan dari tangan pihak ketiga kepada para ahli waris yang berhak, tidak perlu diajukan semua ahli waris”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   6 K/Sip/1973 Tanggal 21 Agustus 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena dasar gugatan tidak sempurna, dalam hal in karena hak Penggugat atas tanah sengketa tidak jelas”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  995 K/Sip/1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Bahwa terbanding semula Penggugat sebagai seorang debitor hanya sekedar mempunyai kewajiban – kewajiban, ialah untuk melunasi hutangnya dan tidak mempunyai hak terhadap kreditornya, sedangkan bagi pengajuan gugatan haruslah ada sesuatu hak yang dilanggar oleh orang lain, untuk dapat menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam suatu proses peradilan”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  1360 K/Sip/1973 Tanggal 17 Juni 1976, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi telah terlalu formal dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima, hanya karena Penggugat minta supaya tanah terperkara disahkan menjadi hak miliknya, sedangkan Penggugat mendasarkan gugatannya pada Hak Guna Usaha (HGU); Karena walaupun petitum menyebut milik, tetapi yang dimaksud adalah tanah dalam Hak Guna Usaha”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  4 K/Sip/1958 Tanggal 13 Desember 1958, Kaidah Hukumnya: “Syarat mutlak untuk menuntut seseorang di depan Pengadilan adalah adanya perselisihan hukum antara kedua pihak”;

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  279 K/Sip/1957  Tanggal 11 Juni 1958, Kaidah Hukumnya: “Tergugat asli yang karena merasa berhak atas sawah terperkara yang ada pada Penggugat asli, dengan bertindak sendiri merampas sawah tersebut dari Penggugat asli, tindakannya tidak dapat dibenarkan dan sawah harus dikembalikan kepada Penggugat asli untuk memulihkan keadaan semula. Dengan senantiasa terbuka kemungkinan bagi Tergugat asli untuk mengajukan gugat terhadap Penggugat asli untuk ditentukan siapa yang berhak atas sawah itu”;

 

 

Jakarta, 29  Agustus 2018

Dihimpun dan dipublikasikan oleh: Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.

Leave a Reply

1 comment

  1. Pingback: My Homepage

News Feed