KILAS PANDANG MENGENAI UPAYA HUKUM LUAR BIASA PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA

HUKUM4,678 views

KILAS PANDANG MENGENAI UPAYA HUKUM LUAR BIASA PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA

 

Pada tanggal 28 Juni 2012, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. SEMA tersebut pada esensinya menegaskan bahwa permohonan Peninjauan Kembali  dalam perkara pidana (pemeriksaan permohonan PK di persidangan Pengadilan Negeri) harus dihadiri oleh Terpidana atau ahli warisnya secara langsung, dengan pengertian lain tidak diperbolehkan hanya dihadiri oleh Penasehat Hukum.

Sebelum SEMA Nomor 1 Tahun 2012 tersebut diterbitkan,  Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan  No. 74 PK/Pid.Sus/2010 pada pokoknya menyatakan tidak dapat menerima permohonan Peninjauan Kembali  yang tidak dihadiri oleh Terpidana atau Ahli Warisnya,  karena dikhawatirkan permohonan Peninjauan Kembali  dimanfaatkan oleh terpidana yang sedang melarikan diri atau bersembunyi selama proses pemeriksaan permohonan Peninjauan Kembali dilakukan oleh Pengadilan.

Pada tataran aspek penerapan hukum, dapat dikatakan bahwa pada awalnya yaitu sebelum diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, terdapat inkonsistensi atau perbedaan pendapat para Hakim Agung yang tercermin dari “pertimbangan hukum”  dalam produk hukum berupa putusan – putusan Mhkamah Agung mengenai Peninjauan Kembal. Terdapat dua pandangan di dalam tubuh Mahkamah Agung yang menafsirkan aturan – aturan  mengenai Peninjauan Kembali yang terdapat  dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada satu sisi Hakim Agung berpendapat bahwa kehadiran Terpidana atau Ahli Warisnya bersifat imperatif (harus dan memaksa), sedangkan pendapat lain  berpendapat sebaliknya, yaitu dalam persidangan permohonan Peninjauan Kembali maka keberadaan Penasehat Hukum dianggap sudah cukup meskipun tanpa dihadiri oleh Terpidana atau Ahli Warisnya. Pada masa sebelum Putusan  No. 74 PK/Pid.Sus/2010, Mahkamah Agung mempunyai sikap ambiguity  dan tidak mempersoalkan  ketidakhadiran Terpidana atau Ahli Warisnya dalam sidang pemeriksaan Peninjauan Kembali. Dengan demikian, dapat dianggap bahwa filosofi diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana adalah memberikan kepastian hukum dan mencegah adanya dualisme yang bersifat paradox di kalangan PENEGAK HUKUM khususnya Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana mengenai permohonan Peninjauan Kembali.

Ketentuan – ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)  yang dijadikan rujukan oleh Mahkam Agung Republik Indonesia (MARI)  dalam menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, adalah:

– Ketentuan Pasal 263 KUHAP:

  1. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.
  2. Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :

a) apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b) apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

C) apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

3. Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

– Ketentuan Pasal 265 KUHAP:

  1. Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan-kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).
  2. Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
  3. Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
  4. Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
  5. Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.

Ketentuan Pasal 263 KUHAP dan Pasal 265 KUHAP tidak secara tegas mengatur apakah kehadiran Terpidana atau Ahli Warisnya bersifat keharusan (imperatif)  atau tidak. Apabila  dicermati secara seksama terdapat anggapan  bahwa kehadiran Terpidana atau Ahli Warisnya bersifat imperatif, yaitu jika merujuk pada pasal 265 ayat 3 dimana di ayat tersebut dinyatakan bahwa dalam berita acara sidang pemeriksaan ditandatangani oleh (salah satunya) Pemohon. Akan tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah siapakah yang dimaksud Pemohon? Apakah Penasihat Hukum (Advokat) yang mendapatkan kuasa khusus untuk mewakili Terpidana atau Ahli Warisnya dapat disebut juga sebagai Pemohon?

Mengenai siapa yang dimaksud dengan “PEMOHON” pada Bagian Kedua Bab XVIII KUHAP   tidak secara tegas dan jelas memberikan batasan pengertian atau definisi. Istilah Pemohon dalam konteks Peninjauan Kembali sendiri baru muncul pada pasal 264 ayat (1) KUHAP yang selengkapnya berbunyi: “Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya”.

Berpedoman pada ketentuan Pasal 264 ayat (1) KUHAP yang selanjutnya  merujuk pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP maka  dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Pemohon terbatas pada Terpidana atau Ahli Warisnya. Namun demikian ketentuan tersebut juga menimbulkan perdebatan, yaitu apakah berarti kehadiran Terpidana (atau Terdakwa) dalam upaya hukum lainnya khususnya Upaya Hukum Biasa seperti Banding dan Kasasi juga harus dihadiri secara langsung oleh Pemohon dalam pengertian Terdakwa?. Polemik tersebut dapat dihubungkan dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut::

Ketentuan Pasal 233 KUHAP:

(1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum;

Ketentuan Pasal 244 KUHAP:

Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

Merujuk ketentuan Pasal 233 dan 244 KUHAP maka dapat dikatakan sistem Hukum Acara  Pidana Indonesia (yang termaktub dalam KUHAP)  tidak secara konsisten mengatur kedudukan Penasihat Hukum dalam pengajuan upaya hukum baik upaya hukum biasa maupun luar biasa. Dalam pasal 233 yang mengatur mengenai permohonan Banding KUHAP menyebutkan kedudukan Penasihat Hukum untuk dapat mengajukan Banding, dengan rumusan “…atau yang khusus dikuasakan untuk itu”, sementara dalam aturan mengenai Kasasi Pasal 244 tidak secara tegas mengaturnya.

Berdasarkan deskripsi yuridis  tersebut di atas dan merujuk pada  ketentuan Pasal 265 ayat (2) DAN (3) KUHAP, Mahkamah Agung Republik Indonesia menegaskan bahwa permintaan atau permohonan  Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung hanya dapat diajukan oleh Terpidana sendiri atau Ahli Warisnya. Permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Kuasa Hukum/Penasehat Hukum  Terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung yang selanjutnya akan memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Peninjauan Kembali tersebut.

Created By: Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.

News Feed