FATWA WARIS
Fatwa merupakan suatu terminologi yang dianggap sebagai “pendapat” atau “penafsiran” mengenai masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Istilah “Fatwa” dalam bahasa Arab artinya adalah “nasihat”, atau “petuah”, atau “jawaban” atau “pendapat”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa FATWA adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan.
Apabila ditinjau dari segi terminus, maka Fatwa Waris berkonotasi dengan aspek dan faktor:
- IKHTILAF, terjadinya perbedaan pendapat mengenai suatu masalah hukum dalam kehidupan masyarakat di luar forum peradilan (out side the ordinary court);
- PELAKUNYA, dengan berwenang memberi fatwa boleh dilakukan oleh SEORANG ULAMA, MUFTI atau suatu LEMBAGA:
- Bisa berbentuk lembaga formal dan non formal;
- Bisa diminta atau tidak, baik oleh perorangan atau kelompok masyarakat;
3. PROSESUAL, tidak ada bentuk tata cara formal, yang pokok pemberi fatwa mengeluarkan pendapat;
4. PRODUK dan KUALITAS, ditinjau dari pendekatan USUL FIQIH:
- Fatwa adalah NASEHAT atau PANDANGAN, yang tidak mengikat apabila hal itu diberikan oleh ulama atau lembaga yang bersifat formal;
- Tetapi bisa merupakan NASEHAT atau PANDANGAN yang bercorak resmi atau OFFICIAL ADVICE ON RELIGIONS MATTERS, namun tidak mempunyai kekuatan mengikat formal yang memiliki daya sanksi atau daya paksa (compulsory);
Ditinjau dari segi fungsi dan kewenangan kekuasaan kehakiman sebagai pelaksana peradilan, agak janggal adanya produk Peradilan Agama yang lahir dari suatu proses yusticial disebut FATWA. Dari pengertian FIQIH dan LUGAH, Fatwa bukan berciri teknik peradilan yang bermakna PUTUSAN atau KETETAPAN, sebab untuk itu ada istilah yang disebut MAQTU (MUNQOTI) atau QARARUN.
Secara prosedural formal maka Pengadilan Agama (PA) mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan Fatwa mengenai Pembagian Harta Peninggalan seorang pewaris yang beragama Islam. Dasar kewenangan tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 49 huruf b Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Fatwa Waris dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas permohonan Ahli Waris. Fatwa Waris berlaku sebagai keterangan siapa saja yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan si Pewaris (orang yang meninggal dunia). Sehingga demikian pula selanjutnya, berdasarkan Fatwa Waris tersebut, maka Notaris/PPAT dapat menentukan siapa saja yang mempunyai hak atas harta peninggalan (assets) dari Pewaris, misalnya untuk tanah warisan.
Dari aspek hukum pembuktian maka Fatwa Waris merupakan bukti kelengkapan untuk syarat proses jual – beli tanah warisan. Persyaratan demikian sesuai ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c butir 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.