LAW FIRM APPE HAMONANGAN HUTAURUK & ASSOCIATES
HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM POLITIK DEMOKRATIS
Dalam sistem politik demokratis, watak hukum yang dihasilkan bersifat responsive dan akomodatif. Substansi hukum yang tertuang di dalam beragam peraturan perundangan yang ada menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. HAM menjadi salah satu ukuran penegakkan hukum. Dalam sistem tersebut terjalin komunikasi serasi antara opini publik lewat wakil – wakilnya, juga media massa, agamawan, cendikiawan, dan LSM dengan Pemerintah. Dengan demikian, sistem hukumnya ditandai dengan konsep impartiality, consistency, openness, predictability dan stability. Semua warga negara mempunyai kedudukan sama di depan hukum (equality before the law). Ciri inilah yang disebut rule of law. Untuk tujuan tersebut, demokrasi dikatakan gagal kalau hanya menekankan pada prosedur melupakan substansi demokrasi. Substansi demokrasi ialah mewujudkan kehendak rakyat yang dibuktikan dari perjuangan wakil – wakilnya di DPR. Antara Pemerintah (dalam arti luas) dengan rakyat tidak ada jarak.
Khusus mengenai tugas pokok kekuasaan kehakiman dalam penegakkan hukum menuju keadilan adalah sebagai berikut:
- Menerapkan dan menegakkan hukum substanstif yang menjadi landasan negara hukum, dengan mengadakan pengujian hukum yang senantiasa dikembangkan;
- Menegakkan dan memelihara rasionalitas dari hukum, yakni dengan menerapkan asas – asas regulatif dan aturan – aturannya;
- Menerapkan asas perlakuan sama terhadap pencari keadilan;
- ‘Pengawasan terhadap kekuasaan dan pelaksanaannya yang dilakukan unsur – unsur negara dan pemerintah (C.J.M. Schuyt, 1983:143,144).
Penguasa/Pemerintah didalam menjalankan roda pemerintahannya lewat keputusan dan kebijakan yang ditempuh, memiliki kekuasaan (power), kewenangan (authority), kekuatan (strength), serta fasilitas (facility) yang dipakai sebagai alat/sarana, baik dalam menjalankan tugas maupun menyelesaikan konflik yang ada. Oleh karena itu, pilihan sistem politik dictator atau demokratis suatu negara tidak dapat dilepaskan dari politik hukum yang telah ditetapkan sebelumnya. Politik hukum yang dituangkan dalam Undang – Undang Dasar suatu negara merupakan pedoman utama serta pilihan yang harus dilaksanakan oleh para pejabat negara. Dengan demikian, politik hukum adalah pilihan, keputusan, dan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya (berdasarkan keputusan politik bersama) melalui/menggunakan instrument hukum, juga dilaksanakan lewat lembaga politik yang sah menjadi patokan serta ditaati oleh para pejabat politik.
Politik selalu terkait dengan tujuan dari seluruh masyarakat (public goal) dan bukan tujuan pribadi (private goals). Lagi pula, politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan orang per orang (individu). Selain itu, praktek politik selain terkait dengan kekuasaan, juga terkait dengan kegiatan yang dapat mempengaruhi kebijakan pihak yang berwenang untuk akhirnya diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan/keputusan pihak yang berwenang.
Pemegang kekuasaan dengan rambu – rambu yang telah ada dalam bentuk ketentuan – ketentuan hukum/peraturan perundangan yang ada, dalam prakteknya sering terdapat penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan tersebut, walau dapat terjadi dimana – mana, sangat besar pengaruhnya sehingga dapat merusak sistem politik/ tata negara / dan sistem sosial lainnya yang ada dan berkembang menjadi kejahatan politik dan kejahatan hukum, karena perlu mendapat perhatian yang cukup.
Perhatian akan hebatnya kekuasaan tersebut, Lord Acton menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan itu perlu dibatasi, pembatasan tersebut ditekankan karena manusia menyandang banyak kelemahan. Lord Acton mengatakan: “ … power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (Orang berkuasa cenderung melakukan korupsi/menyalahgunakan kekuasaannya, malahan orang yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas pasti menyalahgunakan semaunya). Masih terkait dengan kecenderungan politik, pendapat Palmerston menyatakan: ‘Great Britain has no permanent enemies or permanent friends, she has only permanent interests”.
Dalam politik, menurut Margenthau berlaku istilah “zero sum game” (the winner takes all) yang berarti pemenang adalah pemenang, vinito. Kecenderungan tersebut kalau dibiarkan akan merambat/mempengaruhi penguasa – penguasa dibawhnya, kemudian akan bergulir semakin meluas dan menyeruak ke dalam segala segi kehidupan masyarakat. Karena itu, dalam negara demokratis, kekuatan politik yang berkuasa harus mempunyai wawasan negarawan dan tidak berpikiran sempit yang hanya mementingkan golongan.
Kalau kepentingan nasional menjadi ukuran/pegangan, ditambah adanya kemauan politik dan keberanian politik penguasa sendiri untuk memperbaiki diri dan kembali ke politik hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, maka penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan politik yang ada menjadi prioritas utama untuk diberantas, sehingga KKN dapat dikurangi secara bertahap.
Dalam masyarakat tradisional dengan rata – rata tingkat pendidikan warga masyarakat yang masih rendah, mudah terjadi manipulasi politik, sehingga mudah dibawa kepada fanatisme politik yang berlebihan. Dalam kondisi demikian, budaya paternalistis/ primordial dengan pola panutan yang kental (kultus individu) akan dijadikan panutan. Paradigma panutan tersebut menuntut adanya sosok pemimpin yang mampu member teladan yang baik dan bijak. Karena itu, pimpinan politik di negara berkembang diharapkan memiliki visi, misi dan platform yang jelas. Pemimpin dianggap sebagai primus interpares dan daripadanya dituntut adanya keteladanan. Kunci kesulitan – kesulitan dalam kestabilan politik terletak pada sifat/tingkat partisipasi sebagian besar anggota masyarakat, termasuk kaum terpelajar, pejabat militer, pemuka agama, dan tokoh – tokoh politik yang masih lemah dan kadang kurang sehat (Alfian, 1976:100). Visi atau dambaan yang diinginkan di masa depan (what we do we want to be), oleh almarhum Cak Nur sering diterjemahkan sebagai “sasaran agung”, sedangkan misi apa yang diharapkan sekarang demi masa depan (what do we want to have) diartikan sebagai “tugas agung” (Majalah Managemen, Agustus 1998).
Dalam masyarakat yang paternalistis, peran para intelektual, budayawan, idealis, dan agamawan tetap diharapkan. Dengan demikian, perubahan politik memerlukan pula pemikiran kelompok – kelompok tersebut. Selain itu, salah satu kunci mempertahankan penegakkan hukum dan stabilitas politik lebih lanjut, selain para pimpinan formal mampu memantapkan niat untuk mewujudkan politik hukum yang sudah ditetapkan, diikuti langkah konkrit dengan mengangkat taraf hidup, kesejahteraan, dan ketenteraman semua anggota masyarakat, terutama lapisan bawah yang tidak/kurang beruntung. Lebih – lebih kalau keterpurukan tersebut berbentuk kemiskinan cultural yang harus diperangi dan tidak menambah jumlah kemiskinan struktural, hal ini sangat terkait dengan penegakkan Hak Asasi manusia (HAM);
APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.
UNIVERSITAS MPU TANTULAR